Sedikit disclaimer perihal tulisan ini. Jadi begini sobat milenial sekalian, tulisan ini tidak bermaksud menyinggung pihak manapun, dan terpaksa ditulis sebab saya dichallenge oleh seorang teman. Dia mengatakan bahwa jika saya mampu menulis dengan gaya bahasa slengean dan tidak kaku seperti membaca skripsi berjilid tebal maka ia akan membelikan saya lima buah buku baru yang lagi best seller di Gramedia.
Oke. Mari kita mulai menyusun narasi.
Seorang filsuf Indonesia yang tersohor, Tan Malaka bukan Rocky Gerung yah, ia mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Untaian kalimat itu tentu sudah tidak asing dan cukup pop dalam konsumsi kalangan mahasiswa yang mendaku aktivis.
Harus diakui bahwa Tan Malaka memang benar akan hal itu. Kini bisa kita lihat, idealisme adalah barang mewah. Jarang lagi, kita melihat mahasiswa wabil khusus yang mendaku aktivis berpegang teguh pada prinsip itu.
Di Yogyakarta sendiri, selaku tempat saya mengeyam studi, banyak sekali saya menemukan para aktivis mahasiswa yang berpikiran kritis. Saking kritisnya, kini Yogyakarta yang terkenal sebagai logosentris gerakan intelektual malah redup ditengah situasi bangsa yang bersengkarut seperti benang kusut saat ini.
RKUHP yang sebentar lagi akan disahkan menjadi KUHP baru pun luput dalam sorotan. Padahal dalam RKUHP ini banyak sekali memuat pasal-pasal bermasalah yang menyangkut isu HAM, demokrasi dan kebebasan berpendapat. Tentu jika ini disahkan Agustus nanti maka akan menjadi kado pahit di tengah perayaan kemerdekaan bangsa yang ke 77 tahun.
Eh, sorry saya lupa bahwa tulisan ini tidak boleh vulgar dan kritis tetapi harus sopan dan santai.
Kita kembali lagi ke topik soal dilema aktivis mahasiswa pasca lulus kuliah.
Selanjutnya, dari sekian banyak kampus yang berada di Yogyakarta, tidak sulit bagi kita untuk mengidentifikasi para aktivis mahasiswa ini. Sangat mudah tentunya. Mereka ini sering dijumpai di Jalan Gejayan, Tugu Jogja, hingga titik 0 km Malioboro. Mereka bukan lagi jualan, tetapi sudah kita tahu secara bersama bahwa yang mereka lakukan ialah berdemonstrasi memperjuangkan hak rakyat, begitu katanya.
Salah satu ciri yang menohok juga dari para aktivis mahasiswa ini ialah, selalu ada buku bacaan di tangan mereka. Lebih tepatnya, buku-buku rebel. Satu sisi, dari outfit yang mereka pakai pun bisa dilihat. Tokoh-tokoh seperti Che Guevara, Karl Marx, Lenin, hingga simbol kepalan tangan kiri selalu terpampang jelas di outfit yang mereka kenakan. Ditambah lagi, sebagian dari mereka pasti kuliahnya lama.
Pada kesimpulannya mereka para aktivis mahasiswa ini adalah orang-orang dengan pikiran yang kritis karena suka membaca buku dan berdebat soal pemikiran-pemikaran tokoh intelektual di sejagat raya ini. Setiap yang keluar dari mulut mereka ialah narasi-narasi anti kemapanan (kapitalisme), menolak ketidakadilan, dan mereka selalu melihat setiap fenomena sosial yang terjadi dengan sudut pandang yang berbeda dan revolusi adalah jalan perubahan katanya. Kira-kira begitu yang bisa saya simpulkan secara sederhana.
Masalah baru muncul menimpa para aktivis mahasiswa ini setelah mereka lulus kuliah. Sebab setelah melalui proses pergumulan pemikiran dan penempaan diri yang panjang di bangku perkuliahan, mereka akhirnya dibenturkan dengan kehidupan yang sesungguhnya realistis. Dan bukan pekerjaan yang sepele dalam melepas idealisme dan menapaki labirinnya hidup yang pelik.
Tentu muncul pertanyaan, kira-kira sejauh mana idealisme mereka bertahan dan menolak kemapanan hidup dibawah sistem kapitalisme yang katanya menindas nan menyengsarakan itu?
Apakah mereka terus bergerak dengan modal idealisme yang berkobar, lalu mengubah dunia yang semrawut ini menjadi keadilan yang dicita-citakan bersama? Ataukah seperti apa?
Tentu sebuah pertanyaan dilematis yang jika dijawab maka memerlukan hukum kekekalan energi mekanik sebagai rumus pertimbangan.
Adapun jika dipetakan berdasarkan fakta di lapangan, maka menurut saya sendiri, ada empat golongan aktivis mahasiswa pasca lulus kuliah diantaranya:
Pertama, si aktivis perusahaan. Ini adalah golongan aktivis yang semasa kuliah selalu menentang akumulasi kapital (penimbunan modal) tetapi karena tuntutan hidup akhirnya dia menjadi pekerja di perusahaan dengan dalih perbaikan ekonomi keluarga dan kelangsungan hidup.
Kedua, si aktivis LSM. Ini adalah golongan aktivis mahasiswa yang masih menjaga kisaran 50% idealismenya dan memilih jalan terjal perjuangan revolusi yang selalu ia gaungkan selama mahasiswa lewat bergabung denga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Patut kita apresiasi golongan aktivis ini.
Ketiga, si Aktivis Sipil Negara (ASN). Ini adalah golongan aktivis mahasiswa yang sudah cape dengan perihnya idealisme hingga akhirnya memilih untuk berkompromi dan menciptakan perubahan dengan menjadi Aparatur Sipil Negara. Sungguh aktivis yang luhur budinya sobat milenial sekalian.
Keempat, Si aktivis Parpol. Ini adalah golongan aktivis mahasiswa yang cukup unik sebab selama mahasiswa selalu menentang kekuasaan partai politik sebagai lumbung oligarki. Dan ia malah memutuskan diri untuk bergabung dengan parpol kemudian nyaleg. Sudah bisa ditebak karakternya nanti jika terpilih. Semoga saja menjadi wakil rakyat yang benar-benar merakyat. Aamiin
Begitulah perjalanan karier si para aktivis mahasiswa pasca lulus kuliah. Dilematis memang. Tetapi, mau bilang apa lagi? Mau tidak mau harus dijalani sehormat-hormatnya dan semulia-mulianya. Cukup Tuhan sebagai hakim yang mengadili pilihan mereka.
Lagi pula kan hidup yang tidak dipertaruhkan adalah hidup yang tidak akan pernah dimenangkan kalau kata Sutan Syahrir. Toh, para aktivis mahasiswa ini sudah bertaruh sepanjang hidup dengan pilihan hidup mereka yang terjal. Mari kita doakan saja, semoga mereka bisa revolusi dengan diri sendiri dan harapannya bisa tetap menjaga idealisme meskipun dengan karier hidup yang telah dipilih. Barakallah.
Editor: Saa
Gambar: Ngawikita
Comments