Setelah membaca tulisan milik Mas Yusuf R. Yanuri yang berjudul “5 Hal yang Harus Diketahui Sebelum Pacaran” yang diunggah baru-baru ini. Saya kemudian merasa terpancing untuk menulis pandangan saya terkait dengan hal-hal yang blio anggap penting untuk dipertimbangkan sebelum memilih untuk menjalin asmara.

Menurut saya, argumen-argumen dari Mas Yusuf ini seperti hanya menerka-nerka dan terkesan menggeneralisasi. Saya tidak tahu pasti, apakah Mas Yusuf pernah menjalin hubungan pacaran dengan seorang wanita atau tidak, sehingga blio dapat menulis pandangan blio tentang pacaran yang menurut saya kurang akurat.

Dan di sini, tanpa bertujuan untuk menebar kebencian, saya akan memaparkan pandangan saya sebagai seseorang yang pernah berpacaran terkait dengan semua argumen dari Mas Yusuf. Buat kamu yang belum membaca tulisan blio, saya sarankan untuk baca dulu tulisannya. Setelah itu balik ke sini lagi.

Mengenai Patah Hati

Semua keputusan yang kita ambil pasti ada konsekuensinya. Termasuk dalam hal ini adalah pacaran. Salah satu risiko yang harus diterima ketika memutuskan untuk pacaran adalah patah hati. Apalagi untuk orang-orang yang baru pertama kali mengenal pacaran, biasanya akan merasakan damage yang luar biasa.

Eitsss, tapi bukan berarti patah hati selalu identik dengan hal yang negatif lho ya. Patah hati juga ada sisi positifnya, seperti apa yang dijelaskan Mas M. Bagas Wahyu Pratama di tulisannya yang berjudul “Mengapa Anak Muda Perlu Mengalami Patah Hati”. Di opini tersebut Mas Bagas menjelaskan bahwa patah hati memiliki beberapa sisi positif, yaitu menjadikan diri lebih dewasa, bisa lebih bijak dalam memilah rasa, dan bisa lebih mengenal diri sendiri. So if you ambyar, it’s okay, mates.

Pacaran dan Motivasi Belajar

Entah dapat ilham dari mana, Mas Yusuf mengatakan bahwa pacaran untuk meningkatkan motivasi belajar adalah sebuah gimmick. Nyatanya, dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ullah, dkk (2016), ada dampak positif terhadap kinerja akademik yang didapat dari hubungan romantik (pacaran).

Dalam penelitian itu para peneliti meminta 50 responden untuk mejawab 10 pernyataan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak” untuk mengukur skala motivasi belajar dari reponden. Jika jawaban “Ya” dari responden berjumlah lebih dari 5, para peneliti beranggapan bahwa hubungan romantik responden berdampak pada motivasi belajar. Jika jawaban “Ya” dan “Tidak” sama-sama berjumlah 5, para peneliti beranggapan responden tersebut netral. Dan jika jawaban “Tidak” berjumlah lebih dari 5, maka diasumsikan bahwa hubungan romantik tidak berdampak pada motivasi belajar responden tersebut.

Dan hasilnya, 68% atau 34 dari 50 responden memiliki jawaban “Ya” terhadap lebih dari 5 pernyataan yang diberikan oleh para peneliti, artinya motivasi belajar yang didapat dari hubungan romantik bukanlah sebuah gimmick ya, Sobat Milenialis. Hehe.

Memang benar, motivasi bisa didapat dari mana saja. Entah dari guru, teman, sahabat, orang tua, film, buku, dan lain-lain. Tapi kan tidak ada salahnya juga kalau kita cari motivasi dari pacaran.

Pacaran dan Nafsu

Saya tahu bahwasanya pemerkosaan juga terjadi dalam pacaran. tapi tidak semua hubungan pacaran berakhir dengan kasus pemerkosaan. Kalaupun dibandingkan, saya yakin orang-orang yang pacaran sehat masih lebih banyak dari mereka yang pacaran sesat.

Selain itu, di poin ke tiga ini, Mas Yusuf seperti menggeneralisasikan semua laki-laki yang menjalin hubungan asmara memiliki tabiat asli yang tidak baik dengan mengatakan laki-laki akan meminta hal yang tidak-tidak setelah mendapat hati perempuan. How come, Mas Yusuf?

Pacaran Tidak Mengganggu Produktivitas

Di poin keempat, Mas Yusuf berasumsi bahwa pacaran dapat mengganggu produktivitas dengan alasan waktu pasti akan terbagi antara menjalankan hobi dan menemani pacar untuk sekadar chatting atau telponan.

Saya adalah orang yang suka membaca dan menulis. Selama saya pacaran, saya tetap bisa menjalankan hobi saya tanpa ada yang terganggu. Malah bisa dibilang saya semakin produktif karena ada penyemangat. Ketika saya mengikuti lomba misalnya atau ketika akan menghadapi ujian, saya selalu didukung dan disemangati oleh doi, hiya. Hal itu membuat semangat saya semakin membara dan tentu saja berdampak baik pada hasil yang saya capai.

Percayalah sobat milenialis, sekadar menjawab pertanyaan “sudah makan belum?”, “seharian ngapain aja?”, “lagi ngapain?”, “semalem ngimpiin aku enggak?” tidak akan mengganggu produktivitas teman-teman, selama teman-teman bisa mengatur waktu dengan baik.

PDKT Adalah Pencitraan?

Di poin yang terakhir ini yang paling bikin saya pengin nangis. Dan lagi-lagi di sini Mas Yusuf seperti menggeneralisasikan orang-orang yang berpacaran. Kata blio, orang yang mau melakukan PDKT a.k.a Pendekatan pasti ingin terlihat kaya. Oleh karena itu, mereka yang mau melakukan pendekatan biasanya mengajak gebetannya ke tempat makan yang mahal, benda-benda seperti baju, sepatu, HP, tas, dan parfum harus selalu yang bagus dan mahal, katanya. Ini teori dari mana, Mas? Berdasarkan pengalaman saya, gak pernah tuh saya PDKT ingin terlihat kaya. Masnya mau deketin siapa sih emang? Anaknya Bill Gates kah, jadi harus pakai barang-barang branded gitu biar terlihat kaya?

Lagian gak semua individu menyukai seseorang karena materi lho. Masih banyak kok yang suka seseorang karena hal yang lain, entah itu akhlaknya, kepintarannya, atau mungkin kepribadiannya. Who knows?

Saya di sini bukan membujuk teman-teman milenialis untuk berpacaran ya. Pacaran itu hak individu masing-masing. Kalau sobat milenialis memilih untuk tidak pacaran ya gak apa-apa. Tapi kalau mau pacaran ya monggo. Selama tidak menjatuhkan satu sama lain karena perbedaan prinsip.

Source:

Ullah, Z., & Ahmad, Z., Khan H., Alam J. (2016). The Nexus of Romantic Relationship and Motivation among Students of a University : A Quantitative Study. 02(02), 13–19.