Buat kalian yang belum paham, pasti akan mengira bahwa bahasa atau logat ngapak yang kini telah melanglang-buana sampai layar media apapun itu sama saja. Asline ye ora kaya kuwe, nah loh, belum apa-apa saya sudah keceplosan ngomong ngapak. Ada perbedaan teoritis dan praktis yang tidak bisa dipungkiri antara makna dan pelafalan beberapa kata ngapak Pemalang dan Banyumasan.
Soalnya begini, bagi orang ngapak, baik yang lahir dan besar di pantura, maupun yang sejak kecil di Banyumas, berbicara dengan bahasa dan logat ngapak itu sebuah kenikmatan tersendiri. Pernah dengar istilah “ora ngapak, ora kepenak” kan? Begitulah kira-kira posisi budaya verbal ngapak dalam penuturnya sendiri. Dan perbedaan antara ngapak Pemalang dengan Banyumasan justru bisa dibilang sebagai micin yang bikin obrolan antar cah ngapak jadi tambah nikmat.
Oke, saya jelaskan dari rona bahasa yang paling kentara. Dalam bahasa ngapak Banyumasan, huruf vokal “a” seringkali jadi pengganti huruf vokal “o” pada istilah bahasa Jawa Solo-Jogja. Misalnya, kata “jangan” yang diucapkan dalam bahasa Jawa Solo-Jogja menjadi “ojo”, dikatakan “aja” oleh orang ngapak. Nah, kami sebagai orang ngapak pantura, atau secara spesifik ngapak Pemalang, justru bilang “eje”. Bunyinya bagaimana?
Supaya kalian bisa membayangkan dengan tepat, saya coba meminjam penjelasan Mas Ivan Lanin soal diakritik huruf “e”. Kata “eje” dan banyak bebunyian serupa dalam bahasa ngapak Pemalang diucapkan dengan diakritik “ê”, dilafalkan “ə”, yang dalam bahasa Jawa disebut pepet. Contohnya, serupa pengucapan “e” pada kata “kentang”, “bertemu”, dan “gerah”. Kata “Pemalang” juga termasuk pengguna lafal “e” pepet ini.
Dari sinilah klaim saya tentang bahasa ngapak Pemalang yang elegan memiliki argumen yang mengakar dan berdasar, bukan sekedar omongan yang sungguh membagongkan. Kalau kalian butuh contoh kata lain dalam bahasa ngapak Banyumasan yang bertransformasi bunyinya ketika diucapkan oleh cah Pemalang, ada “pire” yang dari asal kata “pira” atau “piro”.
Ada juga kata nasi atau “sego” di Jogja atau Solo yang dilafalkan “sega” di Banyumas, berubah jadi “sege”. Kata ini juga seringkali jadi plesetan garing di Pemalang, ketika wong ngapak Pemalang ditanya “mangan apa?”, lalu dijawab “sege, ra”, biasanya ditimpali dengan candaan “dilah, laut ka dipangan!” Artinya, merujuk pada kata “sega, ra” dalam ngapak Banyumasan dan kata “sege, re”, yang jika disambung menjadi “segara” atau “segoro” memiliki arti “lautan”.
Nggak cuma soal logat “e” pepet yang terdengar medok atau kental, banyak juga kata ngapak Pemalang yang sama sekali nggak ngotak di benak wong Jowo Jogja-Solo. Beberapa kosa-kata ngapak Banyumasan dengan tujuan misuh pernah saya bahas. Misalnya “kantem” atau “dantem”, barangkali tingkat kesulitan untuk ditebak maknanya masih rendah lah ya. Saya yakin kalian bisa dengan mudah menerka artinya serupa kata “antem” dalam bahasa Jawa, atau menghantam.
Selain itu, ada kata “gudal” yang kira-kira dalam bahasa slang pergaulan artinya jigong. Tenang saja, beberapa yang lain akan saya ulas disini, minimal biar kefasihan antum-antum semua dalam mendemonstrasikan pisuhan verbal bisa level up 0,212% lah.
Nah, kalau “dugang”? Bukan, bukan “dugong” dong maksudnya, masa misuh bawa-bawa putri duyung, kan nggak lucu dong. Menjelaskan kata “dugang” ini nggak kalah susah ketimbang mengartikan kalimat “modar kunduran trek” ke bahasa Rusia via Google Translate.
Pasalnya, untuk memahami kondisi yang cocok dalam menggunakan kata “dugang” kalian mesti melihat rekaman kungfu kick Eric Cantona lebih dari 25 tahun lalu. Seperti itulah definisi “dugang”, kira-kira seperti memukul orang yang posisinya lebih rendah, dengan hentakan kaki bagian bawah, “dugang”. Mulene, eje kakehan cangkem, tak dugang sisan li! Begitu kurang lebih praktik umpatan verbalnya.
Supaya tidak terlalu mabuk dalam pisuhan, saya akan kutip kata ngapak Pemalang lain yang seringkali bikin orang Solo dan Jogja mengernyitkan dahi. Sebagai bocah Pemalang yang pernah kuliah di Solo dan Jogja, kondisi kikuk karena keceplosan mengucapkan bahasa ngapak ke orang Solo, Jogja, atau Jawa Timuran tidak dapat dielakkan. Misalnya kata “manjing” yang artinya “mlebu”, atau kata “sejen” yang maksudnya “bedo”.
Sekarang jadi tahu kan? Kata ngapak itu bukan cuma “kepriwe” atau “kepriben” saja. Sebagai bonus, saya tutup dengan teka-teki bahasa ngapak Pemalang. Coba tebak arti kata “kenteng” dan “ingking” dalam budaya ngapak Pemalang. Ungkapannya biasa begini, “Ingking temen donge, kaya kuwe beh ora bise, mbok sing kenteng dadi jah lanang!”
Editor : Hiz
Comments