Akhir-akhir ini saya sedang gemar-gemarnya menyimak video Youtube ngaji filsafat Dr. H. Fahruddin Faiz, M.Ag. yang merupakan seorang akademisi dan pakar filsafat islam yang saat ini tengah mengajar di UIN Sunan Kalijaga di Jurusan Aqidah Filsafat Islam.

Kajian Filsafat Anti Mainstream

Dengan penyampaian yang tenang, materi filsafat yang selalu relevan dengan situasi dan apa yang dialami oleh generasi muda. Tambah lagi dengan langgam bahasa yang mudah dipahami, bahkan oleh orang awam sekalipun seperti saya yang terbilang tidak terlalu menyukai filsafat karena dirasa isinya telalu membingungkan.

Salah satu pembahasan yang menarik bagi saya adalah terkait cinta. Ya, siapa sih manusia di dunia ini yang tidak pernah merasakan jatuh cinta? Cinta selalu menjadi topik yang hangat untuk dibahas dan diramu sedemikian rupa. Tidak lekang oleh zaman dan akan selalu relevan dengan manusia tanpa pandang suku, ras, negara, atau agama sekalipun. Sebab siapapun kita pasti akan atau pernah merasakan bagaimana jatuh cinta.

Kisah Cinta Buta Qais dan Laila

Ngaji filsafat yang disampaikan Dr. Fahruddin Faiz kali ini adalah membahas tentang kisah cinta Laila Majnun. Sebuah cerita alegori tentang cinta ketuhanan yang ditulis oleh Nizami Ganjavi. Melansir dari Alif.id, disebutkan bahwa nama asli dari Nizami Ganjavi adalah Jamaluddin Ilyas bin Yusuf bin Zakky, seseorang yang berasal dari daerah Gans, Azerbaijan.

Secara garis besar kisah Laila Majnun mengisahkan tentang Qais, yang jatuh cinta kepada Laila. Saking cintanya ia sampai dianggap dipanggil Majnun, orang gila. Karena kegilaan Qais ini ayah dari Laila tidak memberikan restu terhadap hubungan keduanya ketika ayah dari Qais datang melamar untuk putranya. 

Sekilas kita akan melihatnya bak kisah cinta antara Romeo dan Juliet, namun kisah Qais dan Laila tidak sebatas cinta tak direstui lalu berujung bunuh diri. Sebaliknya, justru dari kegilaan Qais ini kita malah dapat mempelajari bagaimana hakikat cinta yang sebenarnya. Ya, kita belajar tentang kesejatian cinta dari orang gila bernama Qais.

Cinta Yang Tulus

Dr. Fahruddin Faiz memulai pembahasannya terkait cinta dengan mengutip perkataan dari Ibnu Arabi. “Sesungguhnya cinta yang tulus antar manusia adalah awal perjalanan menuju pengenalan kepada Tuhan, memasuki pengalaman mencintai-Nya dan limpahan anugerah dan kemurahan-Nya.”

Cinta kepada manusia erat kaitannya dengan cinta kepada Tuhannya manusia, yaitu Allah. Dalam suatu cerita disebutkan bahwa ada seorang pemuda yang ingin menjadi seorang sufi. Namun pemuda itu malah disuruh pulang dan diminta jatuh cinta, sebab cinta merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk bisa mencintai Allah. Ingat ya, cinta tidak mesti harus pacaran!

Lalu, pembelajaran seperti apakah yang dapat kita ambil dari kisah Laila Majnun ini tentang kesejatian cinta?

Selalu Menyebut Nama yang Dicintai

Bukan saja sebagai bukti cinta, mengingat dan menyebut nama sang Kekasih hati juga untuk mendatangkan ketentraman dalam hati, mengobati kerinduan, dan untuk mendekatkan diri. Qais yang selalu menyebut nama Laila di setiap waktunya selalu merasa tentram dan kian dekat hatinya dengan sang Pujaan Hati. Pun untuk mengobati kerinduan karena Laila yang nun jauh di sana dan sulit dijumpai. Itulah bagaimana rasa cinta menggebu yang dialami oleh Qais.

Sebagaimana Qais kerap menyebut dan mengingat nama Laila karena cinta, hingga tak satu waktu pun berlalu tanpa mengingat yang dicinta, demikianlah kita sebagai hamba Allah. Jika memang kita cinta, maka tanpa dipaksa pun secara otomatis nama Allah tersebut dengan sendirinya di setiap waktu. Bukan sekedar sebagai amalan yang kelak kita harapkan akan dibalas oleh Allah dengan ganjaran pahala, namun juga agar semakin mendekatkan diri kepada yang Allah.

Rela Melakukan Apapun untuk Bisa Bertemu yang Dicintai

Dalam kisah Laila Majnun, Qais rela melakukan apapun asal dapat bertemu kekasihnya, Laila. Mulai dari menyamar menjadi pelayan perempuan agar bisa menyelinap masuk menemui Laila, menjadi pengemis dengan menukar segala harta benda yang dimilikinya dan membuang apapun yang sekiranya dapat membuatnya dikenali. Dengan tampilan yang lusuh dan compang-camping itu, anak-anak di sekitarnya kerap mengolok-oloknya, namun Qais tak mempermasalahkannya. Ia tetap kukuh pada niatannya untuk bertemu laila.

Bahkan di satu cerita dikatakan bahwa Qais pernah pula menyamar menjadi hewan gembalaan. Ya, Anda tidak salah baca! Qais menyamar menjadi hewan gembalaan. Ia buka seluruh bajunya dan ikut dalam barisan hewan-hewan gembalaan demi bisa melihat dan lebih dekat dengan Laila. Demikianlah bagaimana Qais menunjukkan rasa cintanya dengan merelakan segala hal yang dimiliki untuk bisa bertemu kekasih hati.

Sama halnya dengan rasa cinta kepada Allah. Jika memang benar kita mencintai Allah, sudah sepatutnya kita bersedia untuk menukar semua yang kita miliki, baik itu kenyamanan, harta, maupun kedudukan demi dapat bertemu dengan Allah kelak. Segala hal yang kita miliki hanya akan ditujukan demi dapat berjumpa dengan Allah di hari Kiamat kelak.

Syair Qais si Majnun

Dalam kisah Laila Majnun, Qais pernah bersyair:

“Cinta tidak pernah membelenggu // Karena cintadalah pembebas, yang akan melepaskan simpul-simpul keberadaan // cinta adalah pembebeas dari segala belenggu.”

“Walau dalam cinta, setiap cawan adalah kesedihan // namun jiwa pecinta akan selalu memberi kegidupan // banyak racun yang harus kita telan untuk menambah nikmatnya cinta // atas nama cinta, racun yang pahit pun terasa manisnya // bertahanlah kekasihku, dunia diciptakan untuk kaum pencinta // Dunia ada karena ada cinta.”

Cinta adalah Kebebasan

Qais mengajarkan bahwa cinta adalah kebebasan, tidak terikat oleh apapun demi yang dicinta dan dengan ringannya melepas segala yang ia miliki di dunia ini. Cinta membuat kita tidak lagi memikirkan tentang diri kita sendiri dan membebaskan kita dari belenggu hawa nafsu. Ya, dari Qais kita belajar bahwa cinta harusnya saling membebaskan.

Ketika jatuh cinta, jangan pernah takut sedih, takut menemui hambatan, atau takut merasakan penderitaan, karena cinta akan memberikan kita kehidupan. Rasa sedih yang kita alami dalam cinta itu sendirilah yang akan membuat kita semakin kuat demi memperjuangkan sang Kekasih Hati. Bahkan, dengan adanya cinta dapat membuat racun yang pahit pun terasa manis. Segala penderitaan akan terasa membahagiakan demi yang tercinta. Itulah nikmatnya cinta.

Demikian halnya dengan cinta kepada Allah. Membebaskan kita dari belenggu dunia menuju akhirat dan perjumpaan pada sang Maha Cinta.

Editor : Faiz

Gambar : Google