Hijrah menjadi tren populer di masyarakat muslim Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Fenomena hijrah massif digaungkan oleh ustaz dan ustazah milenial. Gerakan hijrah seolah membius hati para pengikutnya pada keimanan dan keyakinan yang hakiki.

Fenomena hijrah telah meluas di era modern saat ini, hal ini didukung oleh kecanggihan teknologi memberikan akses yang mudah dalam menggaungkan hijrah. Media sosial, pengajian-pengajian yang diadakan secara online, dan podcast memberi jembatan kepada para ustaz dan ustazah untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam.

Sayangnya, hijrah yang dimaksud dan dijalankan oleh sebagian orang haya bersifat hukum saja, hanya meliputi aspek-aspek spiritual saja. Misalnya, dari tidak berkerudung sekarang bekerudung, dari jarang solat kini menjadi semakin rajin solat bahkan dengan solat sunnah lainnya. Hal ini tentu bagus, namun jika hijrah hanya dipahami hanya sebatas itu saja, itu probelmatis karena itu mereduksi makna hijrah yang luas.

Menurut Husein Ja’far Al-Hadar dalam bukunya Tuhan Ada di Hatimu, setidaknya ada empat aspek yang harus dilakukan oleh umat Islam ketika berkomitmen untuk Hijrah.

1. Aspek Spiritual

Inti dari hijrah pada aspek ini adalah pergerakan kita sebagai hamba meunju Allah. Pergerakan spiritual kita yang rendah untuk mendekat kepada yang Mahatinggi.

Idelanya, hijrah dimulai dari dari spritualitas yang simpulnya berada di hati. Karena rumusnya, tubuh mengikuti hati, bukan hati mengikuti tubuh. Misalnya saja muslimah berkerudung, harus berasal dari komitmen hati. Bukan asal mengerudungi kepala saja agar tidak dipandang tidak religius atau aneh oleh orang lain. 

Jika hatinya tidak memiliki komitmen untuk berkerudung, akhirnya ia berkerudung dengan terpaksa. Sehingga sering kali tindakannya tidak islami, tidak mencerminkan tindakan orang yang berkerudung. Bisa jadi kelakuannya merusak citra kerudung, padahal tujuan berkerudung itu justru untuk memperbaiki diri.

2. Aspek Kultural

Dalam konteks ini hijrah memiki arti mengakulturasi Islam yang datang dari negeri Arab dengan nilai-nilai setempat, selama nilai-nilai itu tidak bertentangan dengan subtansi ajaran Islam. 

Sebagaimana yang dicontohkan para wali yang menyebarkan ajaran Islam di Indonesia. Mereka memadukan salah satu budaya Indonesia yaitu wayang, dengan ajaran-ajaran Islam. Dari pewayangan itulah para wali menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam, sehingga bisa dengan mudah diterima oleh masyarkat Indonesia dengan terbuka.

3. Aspek Filosofis

Hijrah membawa umat Islam dari keterbelakangan menuju kemajuan. Sebab sebagian umat dan negara Muslim terbelakang dalam keilmuan maupun sains-teknologi. Orang barat sudah bicara bagaimana hijrah ke mars, orang Islam masih hijrah tak berjenggot ke berjenggot. Padahal mencari ilmu itu wajib, sedangkan berjenggot itu sunah. 

4. Aspek Sosial

Seseorang yang berhijrah harus dapat membumikan Islam. Tak hanya berpenampilan sesuai sunnah atau saleh secara ritual saja, tapi juga mesti saleh secara sosial. Jangan sampai setelah berhijrah, ibadah kita menjadi lebih bersemangat, namun kita menjadi tidak murah senyum kepada orang lain.

Padahal dalam Islam senyum itu ibadah. Jangan sampai kita hanya fokus untuk memperbaiki ibadah kepada Allah, namun tidak bersosialisasi. Mengabaikan orang yang meminta tolong kepada kita dengan alasan sedang fokus beribadah tentu ini menjadi salah persepsi menyoal tentang hijrah.

Hijrah harus mencakup ibadah horizontal pada sesama, bukan hanya vertikal pada Tuhan semata. Secara sosial, kita harus menghiasi sikap menjadi lebih ramah terhadap orang lain, menolong antar sesama. Puncak dari aspek ini adalah membawa kita menjadi lebih peka terhadap sosial.

4. Aspek Lingkungan

Pada bagian ini, merupakan pribadi penulis. Aspek ini menjadi tidak kalah penting yakni masa depan bumi ini menjadi tanggungjawab manusia sebagai mahluk yang berakal. Surat al-Araf ayat 56, Allah telah mengingatkan manusia untuk tidak membuat kerusakan di muka bumi hal ini tentu saja untuk keberlangsungan makhluk hidup.

Hijrah dalam aspek ini mengajak untuk hijrah dari barang-barang sekali pakai yang dapat merusak lingkungan beralih kepada barang yang bisa dipakai berulang dan tidak memberikan dampak yang buruk bagi alam.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menjaga bumi adalah dengan berkomitmen untuk tidak menggunakan barang-barang sekali pakai, tidak membuang sampah ke sungai, tidak menyisakan makanan, dan mulai untuk sustainable living atau hidup bekelanjutan yang ramah lingkungan.

Sumber: Husein Ja’far Al-Hadar dalam buku Tuhan Ada di Hatimu

Editor : Faiz

Gambar :