Selemah-lemahnya manusia adalah manusia yang takluk mutlak pada perasaannya. Begitu perasaannya goyah, langsung lumpuh dan gagap, tak bisa menjalankan kehidupan sebagaimana mestinya, walaupun hanya dalam beberapa waktu.

Bukannya salah atau menyatakan bahwa dengan tak berperasaan itu lebih baik, sih. Melainkan bersikap waspada dan berhati-hati dalam mencermati sesuatu, melihat dengan apa adanya, bukan karena ada apa-apanya. Jangan karena kita terfokus pada kesan pemancing emosi, tahu-tahu bias, teralihkan dari ihwal pokoknya, dan justru kian menjauh dari tujuan utama yang semestinya dicapai.

Memang, melalui perasaan dan bentuk-bentuk ekspresinya, manusia menjadi makhluk yang luwes, fleksibel, lentur, rapuh untuk bisa menjadi kuat, sekaligus lemah agar tetap punya asa. Namun, perasaan merupakan respons batin atas sesuatu; menjadi efek dari sesuatu.

Saking dahsyatnya gelombang rasa yang muncul, kita pun akhirnya beralih fokus ke gelombang rasa tersebut, tak lagi ke sesuatu yang menjadi pemunculnya. Perhatian kita tercurahkan pada efek. Kita bergembira, mengaduh, mengumpat, menyumpah, memaki, mendambakan, bersedih, menyesalkan, khawatir … akan tetapi kita lengah dari “apa penyebab, dan mengapa kita bergembira, mengaduh, mengumpat, menyumpah, memaki, mendambakan, bersedih, menyesalkan, khawatir …?“

Karena itu, kita pun ibarat keledai jatuh kembali ke lubang yang sama; kita bergembira, mengaduh, mengumpat, menyumpah, memaki, mendambakan, bersedih, menyesalkan, khawatir. Lalu dalam beberapa waktu kemudian, kita kembali merasakan gembira, mengaduh, mengumpat, menyumpah, memaki, mendambakan, bersedih, menyesalkan, khawatir yang sama. Begitu terus, berulang hingga waktunya berpulang.

Ini memang perkara yang kontemplatif. Sesuatu yang sejatinya besar, global, dan melingkupi segala sesuatu, tetapi seringkali mesti diterapkan sangat hati-hati atas perkara-perkara mikro dalam kehidupan keseharian kita.

Melihat seseorang yang perlu dikasihani; hal-hal yang membangkitkan rasa iba; gaji dipotong setengahnya sementara cicilan terus berjalan; ingin mudik tetapi tidak bisa; tidak punya uang; dikhianati; melakukan keteledoran-keteledoran rumah tangga; McD Sarinah tutup (sementara); krisis di kantor; diajak selingkuh; ponsel rusak; bosan dan suntuk; dan beraneka ragam hal yang bisa saja terjadi.

 

Berhenti Meromantisasi dan Mendramatisir

Dikit-dikit diromantisasi, dikit-dikit didramatisasi. Esensi masalahnya nggak dapat, yang kelihatan justru hal-hal lain, yang kebetulan punya kuasa mengobok-obok perasaan. Dibuat letih oleh perasaan sendiri, tanpa sadar bahwa sebenarnya bisa diatasi dan tak perlu berlarut-larut.

Melihat seseorang yang perlu dikasihani; hal-hal yang membangkitkan rasa iba. Apa yang membuat dia kasihan? Bisa bantu, bantulah, tidak bisa, ya, sudah. Gaji dipotong setengahnya sementara cicilan terus berjalan. Ya namanya juga risiko karena nasib orang siapa yang tahu –begitu pula nasib saya sendiri. Jadi kira-kira sudah mempersiapkan apa?

Ingin mudik tetapi tidak bisa. Ya sudah, tahan saja luapan rindumu. Tak perlulah bertindak konyol hanya karena dorongan rindu. Ehm, ya, rindu. Tinggal pilih, mampus dikoyak-koyak rindu yang cakarnya lembut, atau diusir, dilarang masuk gang kompleks karena jadi ODP? Gara-gara rindu, orang bisa punya luapan tenaga dan stamina, tetapi seringkali kurang bisa memahami situasinya.

Dikhianati. Sama siapa? Haruskah sesakit hati itu? Tidak ada hal yang lebih penting daripada itu? Tatkala dikhianati, lebih penting berjaga-jaga melihat dampak lain dari perbuatan dikhianati tersebut, terutama dikhianati rekan bisnis. Kalau dikhianati dalam konteks asmara, ya, sudah, tinggalkan. Nggak bisa? Ya, kenapa nggak bisa? Pilihanmu sendiri.

Kalau melakukan keteledoran-keteledoran pekerjaan rumah tangga, ya lain kali lebih berhati-hati. Kalau ada yang rusak, minta maaf dengan tulus kepada si empunya barang, lalu ganti, kalau bisa. Kalau teledor karena capek, beristirahatlah sejenak, kamu sudah bekerja cukup keras hari ini.

Krisis di kantor? Lakukan tugasmu, lakukan yang terbaik, jangan memperkeruh keadaan, dan jangan tambah repot orang lain kalau memang kamu tidak berperan. Masih mending kamu tetap bekerja dan dapat gaji. Kalau gara-gara krisis bisa membahayakan pekerjaanmu, mending saatnya melihat kemungkinan-kemungkinan yang mesti dipersiapkan.

Diajak selingkuh? Is it worth it? Dapet apa dari mewarnai hubungan orang lain dengan coreng-moreng?

Ponsel rusak? Yaudah, kalau mau diperbaiki, perbaiki. Kalau punya uang, beli saja lagi. Kalau tidak ada biaya, sementara ditahan dahulu. Masih untung sekarang di rumah saja. Bisa titip informasi yang lain.

Bosan dan suntuk ya dinikmati dan jalani. Toh bosan dan suntuk muncul secara alamiah kalau kamu enggak ada kerjaan atau kesibukan.

 

McD Sarinah tutup (sementara)

Ya sudah. Kenapa memangnya? Apa harus menangisi di depannya dengan resiko membawa oleh-oleh covid-19 pulang? Hati-hati kecele. Ngumpul buat mengenang di tengah pandemi, ternyata nantinya juga buka lagi.

***

Iya, kesannya memang kaku seperti baja bangunan. Cuma, hidup sudah penuh tantangan dan rintangan, alangkah baiknya bertindak efektif dan efisien, demi menjaga simpanan tenaga. Tenaga fisik, maupun tenaga mental. Capek-capek nanti makan hati, merugikan diri sendiri.

 

Nggak usah drama.

 

Ilustrator: Ni’mal Maula