Awalnya, kala pertama kali mendengar The Panturas, yang ada di benak saya adalah daerah Pantura, pantai sisi utara Pulau Jawa, dan (pastinya) musik koplo dengan jogetan nan-erotis. Nah kalau The Panturas?

Situasi pandemi seperti saat ini membuat saya semakin ketergantungan dengan smartphone. Memang seluruh kegiatan perkuliahan saat ini, mulai dari materi, tugas hingga bimbingan skripsi, semua dijalankan dengan sistem online. Konsekuensi dari sistem tersebut adalah penyakit bosan dan malas yang makin hari makin kronis.

Di tengah-tengah dosen menjelaskan, alih-alih mendengarkan materi, saya pun lebih sering menghabiskan waktu dengan youtube dari pada menyimak penjelasan si dosen dengan seksama. Namun tetap dengan headset dan kamera laptop yang masih menyala. Teruntuk bapak dan ibu dosen, mohon maafkan dosa mahasiswamu yang satu ini.

Iseng-iseng saya mengisi kolom search dengan keyword “Cover Ripped Pants”. Yang muncul di urutan pertama adalah video dengan judul “The Panturas – Ripped Pants” yang membuat saya penasaran lalu iseng memutarnya. Dan wow, lumayan. Versi yang sedikit berbeda dengan cover lainnya, karena iringan suara gitar yang terkesan agak aneh namun asik. Dari situlah awal mula saya mengenal karya-karya band dengan genre surf rock tersebut.

Sebelum membahas lebih dalam soal sejarah band tersebut, alangkah baiknya kita perlu tahu apa itu surf rock. Seperti halnya musik rock yang memiliki tempo cepat, namun yang berbeda adalah suara ‘becek’ yang identik dengan berselancar dan suasana pantai. Genre ini berasal dari sebuah pantai di California Selatan yang populer sekitar tahun 1962–1964. Genre surf rock ini terbagi menjadi menjadi dua arus utama: instrumental dan vocal surf. Berapa band surf rock yang terkenal antara lain Dick Dale, The Ventures, dan Beach Boys. Sedang di Indonesia selain The Panturas ada The Southern Beach Terror dan The Mentawais.

The Panturas dan Nuansa Pantai Utara

Alih-alih grup musik koplo yang berasal dari Pantura, rupanya band ini berasal dari Jatinangor. Wait! Mana pantainya? Jatinangor itu! Kabupaten Sumedang sebelah Bandung. Daerah pegunungan, tengah-tengah Jawa Barat. Nggak ada aroma pantai-pantainya blas.

Ternyata pemilihan nama “The Panturas” oleh band dengan komposisi Acin di sekaligus dan vokal, Gogon di bass, Ijal di melodi, dan Kuya di drum, adalah awalnya merupakan plesetan dari “The Ventures”, band surf rock amerika tahun 60’an. Hal ini diungkap oleh Kuya saat diwawancarai oleh Eddy Brokoli dan Budi Dalton di DCDC Music. “Agar identik dengan pantai, pantai utara.” Ungkapnya.

Musik yang dibawakan oleh The Panturas adalah surf rock dengan kombinasi indie rock, garage rock, dan punk rock. Lebih tepatnya, menurut penjelasan Gogon, mereka adalah klub rock selancar kontemporer. Dan sekali lagi suara gitar yang aneh dan vokal cempreng Acin menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Tempo cepat dan sensasi ‘becek’ membuat saya serasa menikmati hempasan angin dan deburan ombak pantai, walau di tengah penjelasan dosen yang bikin mumet ngaujubilah.

Di sisi lain, beberapa karya The Panturas berisi kritik dan perjuangan untuk para nelayan. Sebut saja Fisherman’s Slut, Fish Bomb, dan Gurita Kota. Dan yang paling fenomenal, menurut saya, adalah Queen of South, yang bercerita tentang pertemuan dengan Nyi Roro Kidul. Bahkan cerita rakyat pun bisa digubah menjadi lagu tanpa mengurangi kadar ke-mitos-annya, Anjaaay!1!1!!

Sejak berdirinya di akhir 2015, mereka telah menelurkan mini album dan dua single. Beberapa di antaranya adalah musik instrumental, beberapa lainnya diisi vokal. Beberapa event musik besar pun pernah diisi oleh mereka. Bahkan mereka pernah diundang di Program Tonight Show.

Dengan mendengarkan musik mereka, kamu dapat merasakan sensasi berselancar ria di tengah deburan materi rekayasa kualitas yang hitung-hitungannya seruwet benang layangan pas lagi kusut.