Rindu saat Covid-19? Sudah biasa!

Lamanya intensitas Covid-19 melanda Indonesia menjadikan prahara perihal asmara.  Tidak terasa bahwa Covid-19 sudah berjalan 1 tahun lebih di Indonesia. Dan selama itu juga saya harus menjalankan hubungan jarak jauh dengan kekasih saya.Waktu yang bisa dibilang cukup menyiksa.

Dengan waktu yang lama tersebut, membuat benih-benih kerinduan mulai terbentuk dalam hati saya. Meskipun saya tidak pernah mengatakan rindu kepada dia. Bukannya saya merasa gengsi untuk mengatakan rindu. Akan tetapi, selama dua tahun berpacaran dengannya, kata “rindu” merupakan hal tabu untuk diucapkan bagi kami berdua.  Sebab, perihal rindu kita semua adalah pemula.

Sebenarnya, jarak tempat tinggal saya dengan tempat tinggal dia, bisa dibilang tidak jauh. Jika menaiki bus, waktu tempuhnya hanya 5 jam. Sehingga, untuk bisa menemui dia bukan perkara yang sulit bagi saya. Namun, saya lebih memilih untuk memendam rindu terlebih dahulu. Bukannya saya tidak mau mengeluarkan modal agar bisa bertemu dengannya, melainkan saya menyadari jika kondisi di Indonesia belum aman dari Covid-19.

Maka, untuk bisa mengobati rindu yang terus berkecamuk di dalam hati, saya melakukan dua cara. Pertama, menjaga komunikasi yang baik dengan kekasih saya melalui videocall dan chat Whatsapp. Kedua, saya selalu mencari ruang yang hening disaat malam hari, kemudian saya merenung sambil membayangkan wajahnya.

Kendati kedua cara tersebut tidak bisa menuntaskan dahaga rindu saat covid-19 yang saya alami. Tetapi, saya tetap bersyukur masih bisa mempertahankan hubungan dengan kekasih saya hingga sekarang. Padahal, saya sempat membayangkan jika hubungan ini sulit untuk bisa bertahan lama. Saya teringat dengan asumsi banyak orang, yaitu jika pasangan yang menjalin hubungan jarak jauh lebih banyak yang putus di tengah jalan.

Pada dasarnya pendapat tersebut memang benar adanya. Soalnya, saya memiliki tiga teman yang juga melakukan hubungan jarak jauh dengan kekasihnya, dan putus di tengah jalan. Melihat teman saya yang tidak bisa mempertahankan hubungan jarak jauhnya, membuat saya berpikir, “Kenapa teman saya tidak bisa mempertahankan hubungan jarak jauh dengan kekasihnya?”

Akhirnya, saya menemukan waktu yang tepat untuk menjawab rasa penasaran perihal teman saya yang gagal menjalani hubungan jarak jauh. Yakni, ketika saya melakukan videocall untuk berkomunikasi. Dan saya langsung mengajukan pertanyaan, “Bro, kenapa kalian bisa putus dengan kekasihmu?”. Jawaban dari ketiga teman saya adalah dua orang beralasan karena sudah bosan, dan satu orang mengatakan jika dirinya sudah menemukan kekasih baru.

Selesai mendengar jawaban dari ketiga teman saya. Tiba-tiba saya jadi teringat, jika rasa bosan juga menghampiri diri saya berulang kali saat melakukan hubungan jarak jauh. Bahkan, saya sering mengatakan bosan pada dia melalui chat WhatsApp. Selain itu, saya juga sempat terlintas untuk menduakan kekasih saya. Namun, saya berusaha untuk melawan rasa bosan dan keinginan untuk menduakannya, meski tidak mudah untuk dilakukan.

Kendati tidak mudah, saya terus merefleksikan diri untuk menemukan cara agar rindu bisa dilampiaskan dalam hal yang positif. Pada akhirnya saya berhasil menemukan caranya, yakni  mengubah rasa rindu menjadi sumber inspirasi, terutama inspirasi dalam membuat tulisan.

Inspirasi dalam membuat tulisan terwujud ketika saya membuat puisi. Banyak sekali puisi yang saya ciptakan bermula saat saya menyandarkan diri di atas kursi sembari memejamkan mata dan membayangkan wajahnya. Dengan kekuatan rindu, membuat jemari saya bisa menari dengan lincah di atas kertas saat membuat puisi.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika ada poster tentang lomba puisi di Instagram yang bertemakan tentang rindu atau perempuan, saya langsung mendaftarkan diri tanpa harus berpikir panjang. Bahkan, tiga karya puisi saya yang berhasil dibukukan dalam antologi puisi, setiap bait dan sajaknya terlukis wajah kekasih saya di dalamnya.

Secara keseluruhan, saya menjadi sadar bahwa rindu bukan persoalan yang menyulitkan, asalkan kita bisa mengubah rindu menjadi tindakan yang positif. Bisa saja saya tidak akan menghasilkan tulisan, jika tidak merasakan kerinduan yang tak kunjung berkesudahan ini.

Sudahlah, cukup sekian perihal rindu saat pandemi ini. Rindu memang telah menyebabkan hati menjadi berserakan dalam ruang kepiluan. Karena itulah, melampiaskan rindu pada hal positif dan menguntungkan dapat mengobatinya dengan perlahan. Hal itu lebih baik daripada harus berpisah. Bukankah, kata perpisahan lebih menyakitkan dalam suatu hubungan? Semoga penahan rindu saat Covid-19 segera dipertemukan!

Foto : Pexels

Editor : Hiz