Selepas Idul Fitri lalu, saya sedang berusaha konsisten untuk belajar memasak. Di samping belajar masak biar hemat, rutinitas membantu Ibu menyiapkan menu berbuka selama Ramadhan jadi salah satu pemantik utamanya. Waktu itu, seringkali saya hanya ditugasi untuk menyiapkan bahan-bahan saja. Tentu, Ibu paham betul bahwa saya sebenarnya payah jika ditugasi untuk mengolah semua bahan mentah tersebut menjadi sebuah masakan. Kalaupun ada kegiatan ‘memasak’ yang dengan sukarela beliau pasrahkan pada saya, sudah pasti itu hanya sesi ‘menggoreng’ saja.
Singkat cerita, setelah kembali ke kosan, saya mulai mencoba memasak mandiri. Pikir saya, kalaupun nanti masakannya kurang sedap, satu-satunya yang akan mengumpat saat makan hanya saya seorang. Hasilnya, ternyata saya nggak payah-payah amat soal memasak. Walaupun tidak jarang keasinan, tetap saja makanan tersebut “layak” untuk dimakan. Nah, demi menjaga semangat serta sebagai bentuk dokumentasi perjalanan belajar memasak, saya membagikan pengalaman tersebut di akun Instagram.
Di sana, kurang lebih saya menulis bahwa sebenarnya memasak adalah kegiatan yang mengasyikkan. Terlebih, setiap kali pertanyaan, “masak apa hari ini?” pasti akan berhubungan dengan, “belanja apa hari ini?” Menurut saya, sejak persiapan bahan-bahan pun sudah menyenangkan. Ternyata, postingan soal kegiatan memasak saya tersebut memicu respon seorang kawan. Kurang lebih dia bilang, “Wah, persiapan nduwe bojo.” Dan, saya hanya bisa bereaksi, “Hah?”
Pertama-tama, sebenarnya respon teman saya ini cuma candaan semata, sih. Pasalnya, saya belum pernah menunjukkan kesiapan untuk menikah dalam waktu dekat. Tapi, tetap saja responnya menggelitik untuk dipertanyakan lebih lanjut. Jadi, kenapa belajar memasak selalu erat dikaitkan dengan persiapan nduwe bojo alias menikah?
Hal tersebut tampaknya erat dengan budaya patriarkis dalam kehidupan sosial kita yang selalu melimpahkan semua kerja domestik pada pihak perempuan, termasuk memasak. Lebih-lebih, menurut pandangan banyak orang, perempuan yang sudah terikat dalam pernikahan dan berstatus menjadi istri wajib hukumnya untuk bisa memasak. Padahal, ya nggak harus gitu, lho. Coba lihat sekeliling, tukang nasi goreng yang sering kalian beli tengah malam itu justru kebanyakan laki-laki, kan?
Menurut saya, memasak lebih tepat dikategorikan sebagai skill buat bertahan hidup. Ini mirip dengan yang dilakukan waktu Pramuka dulu, dimana memasak jadi satu keterampilan dalam materi survival. Yah, walaupun output yang saya hasilkan bersama teman-teman saya selalu saja mie instan sih, baik kuah maupun goreng. Setidaknya, kami belajar bahwa memasak bukan satu kewajiban yang melekat pada gender tertentu. Kalau mau makan, ya masak. Walaupun, sekali lagi: hanya mie instan~
Lagi pula, seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan ini, saya memasak demi berhemat. Keinginan ini didukung pula dengan banyaknya waktu luang, khususnya di pagi hari. Sebab, kesibukan saya tinggal mengerjakan skripsi dan kerja paruh waktu dua kali seminggu. Jadi, apa salahnya belajar memasak untuk mengisi waktu luang sekaligus berhemat? Tentu, tidak ada salahnya. Sebagai tambahan, kira-kira saya menghabiskan kurang lebih Rp 25 ribu untuk seminggu untuk membeli bahan makanan. Jumlah ini jelas jauh lebih sedikit daripada menghabiskan sekitar Rp 30 ribu per hari.
Pada akhirnya, saya hanya ingin menekankan bahwa belajar memasak bukan semata-mata karena hendak menikah saja. Bahkan, akan lebih baik jika kalian memiliki keterampilan memasak jauh-jauh hari sebelum itu. Apalagi, jika kalian tinggal jauh di perantauan. Toh, yang akan merasakan manfaatnya juga diri kita sendiri. Misal terjadi kondisi macam pandemi lalu dan tidak bisa beli makanan dengan mudah, kita akan tetap hidup dengan memasak makanan kita sendiri.
Editor: Saa
Gambar: Pexels
Comments