Saya rasa, berapapun jumlah kata dan lembar yang saya tulis, tak akan habis rasa kagum dan hormat saya kepada Buya. Untuk itu, lebih lanjut catatan ini adalah sambungan dari apa yang kiranya ‘tercecer’ dari yang saya tulis sebelumnya.

Meneladani Buya Syafii

Dalam pandangan saya, Buya Syafii Maarif setidaknya memiliki lima sebutan yang populer: Sebagai tokoh agama, cendekiawan muslim, penulis, sejarawan, dan dosen. Kelima peran itu pernah atau bahkan diantaranya mungkin masih dimainkan secara bergantian namun tak jarang dalam kurun waktu yang relatif bersamaan.

Sebutlah misal di kalangan Muhammadiyah dan masyrakat muslim Indonesia, Buya Syafii dikenang pernah memimpin Persyrakitan dengan tagline “Islam Berkemajuan” itu pada periode 2000-2005. Dalam rentang waktu dan tahun yang sama, beliau juga mengajar banyak mata kuliah, salah satunya Sejarah di Universitas Negri Yogyakarta (UNY). Gelar Profesor dan kesibukannya sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah tak menghentikan komitmen Buya Syafii kepada pendidikan.

Ketika berada di lingkungan yang lebih beragam, sifat cendekiawan dan predikat sebagai tokoh agama Buya Syafii terang terlihat. Beliau menempatkan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Beliau bukan hanya milik umat Islam Indonesia. Indonesia sebagai satu negara adalah bentuk jamak dari pluralitas. Buya Syafii tak jarang mengutuk keras dan turun tangan langsung dalam beberapa kasus tindak kekerasan  dan intoleransi yang mengatasnamakan agama. Kasus kerusuhan di Manokwari; penyerangan Gereja St. Litwina, Sleman; pembelaan Buya terhadap KPK, dan masih banyak lainnya, jadi bukti keseriusan Buya Syafii dalam merawat kebhinekaan dan kemajuan bangsa.

“Dalam usiaku yang sudah larut ini, agenda utamaku adalah turut berbuat sesuatu betapapun kecilnya agar Indonesia sebagai bangsa dan Negara tetap utuh.“Ahmad Syafii Maarif

Buya Syafii dekat dengan Semua Kalangan

Kediaman Buya Syafii di daerah Nogotirto, Sleman, tak pernah sepi dari tamu. Beliau membuka diri untuk siapa saja, mulai dari pejabat politik yang meminta nasihat dan dukungan kenegaraan, anak-anak muda, tokoh lintas agama, mahasiswa, santri yang mengajak diskusi, sampai jurnalis dan awak media yang meminta untuk wawancara khusus. Semua Buya terima dari urusan genting sampai curhat yang remeh temeh sekalipun.

Persis seperti yang beliau utarakan pada kala waktu, saat menerima wawancara Beritatagar.id (saat ini Lokadata.id), “Saya dekat dengan semua orang, dengan satpam, penjual sate, dengan penjual warung, pedagang soto. Saya dengan dengan semua, dan memang dilahirkan sebagai manusia gaul. Saya bukan hanya milik keluarga.”

Buya Syafii bahkan menyebut dirinya sebagai orang udik, untuk menandakan  bahwa beliau tidak akan pernah lupa dan bisa tercerabut dari akar masyarakat.

Dan memang begitulah faktanya. Ketika ada orang-orang yang memandang Buya Syafii dengan mata penuh kebencian, saya pikir barangkali mereka memandang dengan kacamata rabun lagi  jauh. Dalam Bahasa yang lebih sopan: tidak secara dekat mengenal Buya Syafii Maarif.

Buya Syafii: Penulis dan Pembaca yang Tekun

Pergulatan intelektual Buya Syafii di dunia akademis telah menghantarkannya pada sebuah keniscayaan: ruang kelas, mimbar ceramah, diskusi, dan semua kerja-kerja peradaban sebagai medan juang. Hingga saat ini Buya Syafii masih aktif menulis di pelbagai media cetak dan daring, salah satunya di Republika, beliau punya kolom khusus  bernama Resonansi.

Pikiran dan kegelisahan Buya Syafii dituangkan dalam ragam tema-tema politik, sejarah, filsafat dan isu-isu seputar keislaman, keindonesiaan juga kebangsaaan. Tentu hal tersebut tak lahir dari ruang hampa dan proses gampang, melainkan hasil dari jeri payah dan kesabaran dalam menekuni aksara atau teks-teks bacaan.

Sebagaimana yang ia tulis, ketertarikan Buya Syafii juga seputar buku-buku keislaman, filsafat, politik, sejarah, pendidikan, dan sebagainya. Nama-nama seperti Muhammad Iqbal, Ibnu Khladun, Bernard Rushell, Toynbee, Fazlur Rahman, dan lainnya jadi bagian dari karya-karya tulis Buya Syafii sendiri.

Adapun  berikut beberapa karya tulis Buya Syafii dalam bentuk buku: Dinamika Islam (1984); Islam, Mengapa Tidak (1984); Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984); Islam dan Masalah Kenegaraan (1985); Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009); Islam dan Politik (2018); Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018); Menerobos Kemelut (2019); Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2019).

Mengenai buku-buku yang ia tulis, hati saya bergetar ketika membaca perkataan Buya,

“Saya tak pernah mau menerima tawaran menjadi komisaris BUMN. Tapi royalti buku itu lain. Walau hanya sejuta dua juta harus ditagih. Itu kebahagian terbesar seorang penulis.”

Buya: Mata Air Keteladanan

Kini Buya Syafii Maarif berusia 85 Tahun. Ada banyak sekali tulisan yang berkenaan dengan milad Buya pada 31 Mei yang lalu. Meski telah lewat tiga bulan, tentu saya tak mau begitu saja kehilangan momen ini. Saya tulis catatan ini sekaligus menjadi do’a untuk Buya. Segala kebaikannya adalah inspirasi terutama bagi generasi yang jauh dibawah Buya.

Pada usia yang tidak lagi muda, justru beliau terus mendobrak batas-batas yang rasanya sulit untuk kita lakukan, nampaknya Buya belum juga redup dan kering. Kepadanya kita perlu belajar banyak hal, sebab laki-laki Minang kelahiran desa Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 itu adalah mata air keteladanan.

***

Senantiasa mencerahkan, Buya. Tabik.

Penulis: GIgih Imanadi Darma

Penyunting: Aunillah Ahmad