Beberapa bulan terakhir, negara kita dihadapkan pada sebuah kehidupan yang tidak kita duga sebelumnya; covid-19. Dampak yang diberikan begitu nyata dan mengagetkan. Bagaimana tidak, kehidupan yang awalnya biasa dengan interaksi secara langsung, makan bersama, jalan-jalan ataupun nongkrong yang sudah seperti makanan sehari-hari kini berbanding terbalik. Hal-hal yang wajar dilakukan sebelumnya kini jadi asing dan menakutkan. Covid-19 merubah pola hidup dan perilaku kita sebagai makhluk sosial yang katanya tidak terlepas dari orang lain.

Ada begitu banyak dampak yang diberikan oleh pandemi Covid-19 atau yang sering disebut dengan corona ini, baik maupun buruk. Akan tetapi lihat saja berita-berita yang disajikan. Mulai dari sisi perekonomian, kesehatan, psikologi, pendidikan, hingga sosial dampak terbesarnya lebih mengarah ke dampak buruk. Akan tetapi dari semuanya, dampak yang paling menakutkan adalah kewarasan seorang manusia.

Menguji Kewarasan

Kalau kita merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, kewarasan itu berarti “kesehatan jasmani dan rohani”. Artinya seseorang itu sehat secara jasmani dan rohani. Atau kalau yang saya pahami sih, artinya seseorang itu mampu menggunakan akal, perasaan, dan raganya untuk melakukan sesuatu yang baik sehingga mampu memberikan kebermanfaatan bagi diri dan sekitarnya. Lalu apa hubungannya corona ini dengan kewarasan manusia?

Coba kita tengok berita negara kita beberapa waktu terakhir, baik dari televisi, instagram, twitter atau sosial media lainnya. Berita yang disajikan tidak akan jauh-jauh dari penimbunan bahan pokok, penipuan penjualan masker, pencurian APD, penjualan APD ke Luar Negeri, pembuatan handsanitizer tanpa didampingi ahli bahkan mencomot komposisi dengan tidak sesuai aturan dan dijual bebas, ibu dari pemimpin negara meninggal malah dibully, katanya si miskin adalah penular virus, orang membuka donasi dituduh pencitraan, dan masih banyak lagi berita yang membuat kita geleng-geleng kepala dan merasa miris dengan keadaan negara kita sendiri. Belum lagi ditambah berita yang sedang hangat, seperti pengesahan UU Minerba, aksi viral-klarifikasi-minta maaf, kenaikan BPJS, atau konser BPIP menambah sederet berita yang sangat mengenaskan.

Kemudian mari kita lihat korelasi antara corona dengan kewarasan ini. Sebenarnya apa motivasi masyarakat di negara kita melakukan itu semua? Strata kuasa sepertinya tidak ada pengaruh sama sekali, sebab baik masyarakat biasa maupun pemerintah melakukan hal yang saya rasa cukup bikin ngelus dodo di situasi ini. Dimana letak pikiran dan hati nuraninya saat melakukan itu? Untuk kebutuhan diri dan negara, katanya. Namun kenyataan yang berjalan di lapangan kelewat batas, berlebihan, di luar akal, juga mementingkan kepentingan golongan dan diri sendiri.

Lalu dimana semboyan negara Indonesia yang terkenal dengan kerjasama antar masyarakatnya? Dimana letak nilai kemanusiaan dalam pancasila yang katanya adalah dasar negara kita? Bukankah pemerintah seharusnya melindungi warganya sehingga memberikan rasa aman pada setiap warganya? Bukankah kita seharusnya juga saling bekerjasama agar bisa sama-sama hidup baik di tengah pandemi ini? Bagaimana bisa kita dikatakan waras kalau kita tidak bisa menselaraskan antara pikiran, hati, dan raga kita dalam melakukan sesuatu?

*

Mungkin kita sama-sama lelah dan memikirkan bagaimana kita akan melanjutkan hidup di tengah pendemi ini. Akan tetapi hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan sesuatu yang merugikan orang-orang di sekitar kita. Pandemi ini sesungguhnya menguji dan melihat bagaimana sikap, sifat, bahkan tingkat kewarasan seseorang. Apakah ia mampu untuk menggunakan akal pikiran dan hatinya sebaik mungkin?

Dengan melihat rentetan berita yang sedemikian rupa dan kurva pandemi yang belum juga turun, keadaan ataupun peraturan yang mungkin saja bertambah rumit dan nggak jelas itu, yang perlu kita lakukan saat ini adalah: saling menyadarkan untuk tidak egois, jangan sakit, saling menjaga, dan saling mengarahkan. Semampunya.