Kritik dan kritis adalah dua kata yang berbeda, namun saling berhubungan. Kritik bisa diartikan mencari sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman kita. Sedangkan, kritis lebih mengarah kepada pencarian pokok permasalahan kemudian menyelesaikannya. Nampaknya, dua kata inilah yang sangat kita butuhkan guna menyelesaikan tebar kebencian melalui media sosial.

Permasalahan di Media

Permasalahan yang kerap terjadi saat berselancar di media sosial adalah hilangnya pola kritik yang turut mepersulit pemikiran kritis. Menurut Scheffer dan Rubenfeld, berpikir kritis bisa diartikan dengan kemampuan mencari informasi, menganalisa, membuat alasan logis, dan memproyeksikan dan mentransformasi kemampuan yang kita miliki. Melalui pemikiran kritis, sebuah informasi bisa diteruskan menggunakan sebuah ide sehingga menghasilkan pengetahuan baru.

Kemampuan berpikir kritis tanpa diimbangi pola ketelitian dalam membandingkan suatu informasi justru berpotensi terjadinya konflik dan tertutupnya potensi solusi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang saat ini belum menemui hasil yang sempurna. Masih banyak kecacatan di sana-sini. Masyarakat masih menjadi implusif dan menyerang seseorang yang berbeda pandangan.

Akibatnya, doktrin pemikiran yang dijadikan sebagai argumen. Sebaliknya, pola pemikiran kritis yang mengutamakan keterbukaan dikesampingkan. Sehingga bisa ditebak, akhir dari semua permasalahan akan berujung kepada kesemrawutan permasalahan tersebut.

Mereka tidak sadar, adu doktrin yang mereka lakukan tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan. Permasalahan tidak akan pernah selesai jika hanya mengandalkan keyakinan dan pemaksaan belaka. Karena, kedua kata tersebut (keyakinan dan pemaksaan) akan menimbulkan rasa sakit hati bagi pihak yang merasa dikalahkan.

Bencana bagi Persatuan

Bila doktrin pemikiran yang terus diandalkan menyelesaikan perselisihan di media sosial, bukan tidak mungkin media sosial dapat membawa bencana besar bagi persatuan bangsa. Media sosial akan menjembatani ego individu, yang mungkin saja dapat mempengaruhi kemarahan liyan. Mungkin adu mulut di media sosial akan menjadi awalan, namun puncak dari semua itu adalah peperangan antar golongan dapat terjadi di dunia nyata.

Meskipun begitu, media sosial tetaplah alat komunikasi yang membantu kerja manusia. Seperti alat pada umumnya, media sosial bagaikan dua mata pedang. Di satu sisi media sosial bisa menjadi alat provokator yang paling canggih saat ini. Namun di sisi lain, media sosial bisa menjadi alat penyemai kedamaian bila digunakan sesuai tujuan penciptaannya.

Kritik dan Kritis

Tujuan media bisa diluruskan dengan mengacu pada konsep kritik dan kritis. Keduanya mempunyai bobot dalam mendulang manfaat pada lalu lintas media sosial. Menjadi rambu-rambu tetap dalam menegakkan perdamaian dan kemaslahatan bagi semua orang. Sehingga seluruh pengguna media tetap menjadi seseorang yang bijak dan tetap mengedepankan semangat persatuan.

Untuk mencapai manfaat ini, syarat utama yang harus ditumbuhkan adalah berpikir kritik dan kritis menghadapi segala problema yang terjadi. Dengan berpikir kritik dan kritis, masyarakat dilatih menimbang manfaat dan keburukan atas sebuah isu yang berkembang. Mencari informasi secara lengkap dari berbagai sumber, kemudian membandingkannya untuk mengatahui secara pasti apa dan tujuan isu itu dimunculkan.

Dengan demikian, masyarakat tidak akan berkutat pada kebiasaan kuno yang menjunjung tinggi doktrin di atas pemikiran secara terbuka. Masyarakat akan belajar memahami, kemudian menerima pendapat yang berseberangan. Jika ada kemungkinan keganjalan di hati, perdebatan akan berpola pada fakta dan data yang akurat, bukan berdasarkan opini dan asumsi belaka. Sehingga pola diskusi seperti inilah yang akan mencerdaskan masyarakat kita dan membangun pola pikir yang toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

Dan pada isu-isu yang berkembang di media sosial saat ini, terdapat tantangan untuk memunculkan kemampuan itu. Masyarakat harus diajak bersama-sama berdebat menggunakan fakta dan data. Sebuah cara yang relevan dalam penggunaan media. Hal ini salah satunya bisa diwujudkan oleh public figure yang menjadi simbol tauladan bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Merekalah sendi yang dengan mudah mengajak seluruh elemen masyarakat dalam tema menggalang perdamaian bermedia dengan etika kritik dan kritis.

Mereka bisa mengutarakan sebuah pendapat yang dapat memancing masyarakat dalam sebuah diskusi yang menyenangkan. Kemudian mendorong jauh-jauh individu yang menggunakan doktrin pemikiran agar menunjukkan opininya dengan data yang sesungguhnya.

Dengan begitu, individu yang hanya menggunakan asumsi dan opini saja dalam berpendapat dengan sendirinya akan lari perdebatan. Sehingga media sosial akan dipenuhi dengan perdebatan sehat yang membuka wawasan masyarakat akan prinsip keterbukaan.

Editor: Nirwansyah