Kantin erat kaitannya dengan pelajar, diksi ini menjadi mantra wajib semua siswa untuk diucapkan guna menunjukan eksistensi uang jajan dan teman tongkrongan. Agak lebay sih, tapi memang benar adanya warung tempat jajanan berkumpul ini seolah menjadi simbol sekolah sendiri. Seperti sekolah bagus pasti kantinya rame dan keren.
Dibalik itu, pernah nggak sih terbersit dalam pikiran bahwa para penjaja makanan ringan bahkan mungkin terkadang berat seperti nasi, mie dll itu didominasi perempuan. Yak benar, ibu-ibu penjaga kantin lebih akrab kita lihat daripada bapak-bapak. Kita akan melihat contohnya dalam film Dilan 1990 warung kopi atau kantin luar ini dijaga oleh Bi Eem. Eksistensi ibu-ibu menjadi penjaga kantin seolah lestari hingga kini, namun mengapa pekerjaan tersebut seolah hanya milik ibu-ibu? Dimana peran laki-laki? Serta apakah ini mengindikasikan tidak adanya kesetaraan atau gender equality?
Ada tiga alasan mengapa penjaga kantin lebih identik dengan perempuan, ketiganya dapat saling berkaitan atau mungkin tidak, namun fenomena di masyarakat lebih banyak sejalan. Yakni kebutuhan ekonomi, lemahnya skill, serta rendahnya tingkat pendidikan.
- Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi
BPS DKI Jakarta mengeluarkan hasil survei yang sangat mengejutkan, di tahun 2018 jumlah kepala rumah tangga dengan rentang usia dibawah 20 tahun jumlahnya hampir sama antara perempuan dan laki-laki yakni 45% berbanding 55%. ini mengindikasikan bahwa jumlah perempuan yang harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga hampir sama dengan jumlah laki-laki.
Hajat untuk hidup tidak akan mungkin terpenuhi dengan tidak adanya lahan pekerjaan yang menghasilkan, menjadi penjaga kantin pastilah pilihan mudah dan cepat yang dapat dilakukan. Terlebih data kemiskinan di Indonesia menunjukkan trend yang tak pernah menurun signifikan, hal ini mengakibatkan ibu/istri harus ikut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.
Menjaga kantin atau warung memang menjadi primadona di Indonesia untuk kalangan perempuan, di april 2022 saja tenaga usaha penjualan menjadi jenis pekerjaan tertinggi yang diminati dengan angka 28%.
- Lemahnya Skill
Skil menjaga warung tentu tidaklah mengharuskan ibu-ibu belajar mendalam, tak perlu sertifikasi atau pelatihan panjang, dengan modal bisa tambah dan kurang bilangan sederhana, dan memasak atau menjajakan makanan sudah langsung dikatakan penjual hebat. Pekerjaan minim skill ini tentu menggoda untuk kaum hawa.
Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa skill memasak atau meramu sajian menjadi titik sentral ibu-ibu penjaga kantin, hal ini yang akan memikat kita untuk jajan. Namun tentu ini bukanlah faktor mendalam yang harus jadi pertimbangan, ibu-ibu bisa belajar cepat untuk ahli dalam memasak. Dan bisa jadi karena hanya memiliki skil memasak menjadikan penjaga kantin pilihan utama.
- Rendahnya Tingkat Pendidikan
Strata pendidikan memang senantiasa dikaitkan dengan jenis pekerjaan, kita sering mengenal istilah jenjang sekolah mengindikasikan jenjang pekerjaan. Utamanya untuk ibu-ibu zaman dulu memang pendidikan bukan patokan utama untuk kehidupan.
Inipula yang terjadi pada ibu penjaga kantin, kalo ada waktu ngobrol boleh banget ditanya pada mereka, yang penting dengan nada bercanda yaa, jenjang pendidikannya pasti tidak tinggi. Mereka sadar jika bekerja di lembaga atau institusi formal pasti tidak ada yang mau menerima, namun jika berdagang pasti pintu terbuka.
Dominannya ibu-ibu atau perempuan menjaga kantin lantas tidak menjadikan kita generasi muda mengiyakan fenomena yang terjadi, kaula muda mendorong mereka yang kurang mampu dalam scale up kehidupan, keren rasanya bagi seorang alumni sekolah bukan hanya sukses pribadi tapi juga sukses sosial dengan mengajak orang lain salah satunya ibu kantin.
Ibu kantin bukan mereka yang harus bekerja hingga ajal menjemput menjaga warung, sering kita dapati bahkan nenek-nenek masih menjaga kantin sekolah. Sudah saatnya kita bukan hanya reuni memperlihatkan kesuksesan diri, tapi juga keberhasilan scale up ibu-ibu penjaga kantin karena itu juga salah satu bentuk memperjuangkan gender equality.
Foto: Pexels
Editor: Saa
Comments