Sepekan ke belakang, nama Haruna Soemitro menjadi buah bibir di jagat maya. Pernyataan-pernyataan yang ia lontarkan disiniar salah satu media nasional berbuah perbincangan hangat di media sosial. Bukan hanya soal pernyataannya yang membuat banyak penikmat sepakbola nasional mengernyitkan dahi. Namun, Haruna Soemitro bukanlah sembarang tokoh. Ia adalah bagian dari pengurus pusat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), tepatnya anggota komite eksekutif atau biasa disebut dengan Exco.

Berawal Dari Statement

Karena ucapannya disiniar yang diunggah pada 15 Januari lalu, Haruna Soemitro banjir hujatan dan kritikan. Saya rasa statement beliau soal ketidakpuasan akan kinerja pelatih Shin Tae-Yong, merupakan persoalan hasil lebih penting ketimbang proses, ataupun kritik tactical mengenai strategi timnas yang dirasa asal-asalan sudah banyak tersebar dan dibicarakan orang-orang. Untuk mengulang apa yang beliau katakan saya rasa akan membuang banyak waktu. Belum lagi jika harus menguras energi untuk (kembali) marah-marah terhadap pendapat beliau yang sangat ‘menggemaskan’. Padahal, sejatinya, yang terhormat Pak Haruna Soemitro juga berhak untuk bahagia.

Pak Haruna Manusia Biasa

Kalau orang-orang masih marah kepada beliau, sejatinya Pak Haruna juga manusia biasa. Toh, politisi atau tokoh masyarakat di negara kita sudah sering melakukan blunder, apalagi lewat lisan mereka. Ini awam terjadi dan apa yang mereka ucapkan seharusnya kita maafkan saja. Namanya juga manusia, pasti lekat dengan kesalahan dan kekhilafan. Terdengar naif memang, tetapi nyatanya kita ngga punya kuasa untuk mengubah kebiasaan itu. Kalau kata orang Jawa, “nggih pun, pripun malih …

Dengan menyadari bahwa Pak Haruna Soemitro adalah manusia seutuhnya, selain pengampunan, beliau berhak mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu ialah beropini bebas sesuai dengan apa yang beliau percaya. Sebab, Tan Malaka mengatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda. Meskipun umur Pak Haruna tak lagi muda, saya yakin semangatnya masih seprima aktivis-aktivis kampus. Namun, kebebasan itu nyatanya tak bisa didapatkan secara gratis. Atau, setidaknya ada sejumlah ‘nilai’ yang ‘dibayarkan’.

Semua Ada Batas dan Koridornya

Menjadi Exco memang punya wewenang atau kebebasan untuk menyampaikan aspirasi mengenai jalannya sepakbola nasional. Akan tetapi, tidak bisa ‘sebebas’ itu untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kewenangan itu seharusnya tidak digunakan dengan sembarangan, apalagi mengatakan sesuatu hal yang tak sesuai dengan data dan fakta yang ada. Jika memang kebahagiaan seutuhnya adalah yang ingin didapatkan oleh Pak Haruna, maka konsekuensinya adalah bebas tugas dari jabatannya di PSSI. Dengan begitu, beliau bisa bahagia dengan kemerdekaan berpendapatnya dan penggemar sepakbola nasional juga turut berbahagia karena tak lagi mendengar opini-opini ngawur yang bersliweran di internet. Lihat, sebuah win-win solution. Hehe …

Pernah Punya Prestasi

Kebahagiaan yang lain adalah ketika manusia merasa cukup tentang hal-hal yang ia punya, termasuk tentang kemampuan manusia dalam menjalankan pekerjaannya. Saya rasa, Pak Haruna bukannya tidak mampu menjabat sebagai Exco. Namun, pencapaian-pencapaian beliau di karir sebelumnya sudah cukup menunjukkan bahwa ia berkompeten di dunia si kulit bundar. Membawa Persebaya kembali ke Divisi Utama, meraih medali emas bersama tim sepakbola Jatim di PON 2004, dan menjadi anggota Asprov PSSI Jatim adalah beberapa bukti di antaranya. Memang benar, manusia dituntut selalu berkembang dan menjadi lebih baik daripada hari sebelumnya.

Terlalu Memaksakan

Namun, kalau ia harus melawan batas kemampuannya, yang ada hanyalah sengsara karena memaksakan kehendak. Saya rasa, Pak Haruna terlalu memaksakan diri untuk berkecimpung di sepakbola nasional. Nyatanya, tak ada prestasi yang signifikan selama ia menjabat sebagai Exco. Ini berbeda jauh dengan apa yang ia raih di karir sebelumnya yang sukses meraih berbagai pencapaian. Mundur dari jabatan Exco bukan berarti ia tak bisa mengatur sepakbola. Hanya saja levelnya yang mungkin berbeda. Jadi, untuk Pak Haruna mungkin bisa lebih sadar diri bahwa kini kemampuannya sebagai pengatur sepakbola nasional terlalu dipaksakan. Jadi, ya, betul, lebih baik mundur saja dari jabatan Exco.

Pak Haruna Berhak Bahagia

Kalau saja tulisan ini dirasa berbau satir, toh memang benar pada dasarnya Pak Haruna berhak mendapatkan kebahagiaan. Menjabat sebagai pengurus pusat PSSI punya konsekuensi yang besar sehingga tentu perlu pengorbanan yang juga sama-sama besar. Pak Haruna pasti ingin hidup tenang dan tenteram dengan kehidupan masa senjanya bersama istri dan anaknya. Tidak seperti saat ini di mana istri dan anaknya turut menghadapi hujatan yang dilontarkan buah dari perkataan Pak Haruna di siniar tersebut. Hujatan kepada mereka ini memang tidak bisa dibenarkan.

Namun, setidaknya apa yang sudah terjadi mampu menyadarkan diri Pak Haruna agar lebih berhati-hati dalam berbuat, bercakap, dan bekerja. Pak Haruna berhak bahagia, berhak melihat timnas kita meraih gelar juara. Tentu, tanpa intervensi dan pernyataan kontraproduktif yang Pak Haruna katakan itu. Jadi, sekali lagi, ya, betul, lebih baik yang terhormat Pak Haruna Soemitro mundur saja dari jabatan Exco PSSI. #HarunaOut!

Editor : Faiz

Gambar : Bola.com