Dalam satu pelatihan, narasumber menulis kalimat yang tak selesai. “Hidup ini adalah….”

”Tolong lanjutkan kalimat itu sesuai definisi dan makna hidup menurut saudara”.

Peserta mengisi dengan jawaban yang berbeda-beda. Ada yang mengisi: Hidup adalah untuk ibadah.  Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah memberi dan mengabdi. Hidup adalah bekerja, hidup adalah permainan, dan banyak lagi.

Semua jawaban dibenarkan. Setiap orang punya definisi dan pandangan sendiri-sendiri, kata narasumber. Lalu dipilih dua jawaban untuk diperdalam. “Hidup adalah Bekerja” dan “Hidup adalah Permainan”.

Mengapa hidup adalah bekerja? Karena hanya dengan bekerja kita dapat nafkah, jawab peserta. Lalu untuk apa nafkah? Supaya dapur tetap ngebul karena kita perlu makan. Lalu untuk apa makan? Supaya bisa hidup? Untuk bekerja. Untuk apa bekerja? Supaya dapat nafkah. Kok muter terus ya? Hidup untuk bekerja, bekerja untuk dapat nafkah, dapat nafkah untuk makan, makan untuk hidup, hidup untuk bekerja, terus melingkar tidak berkesudahan.

Yang kedua, mengapa hidup adalah permainan? Peserta mengaku penggemar olahraga. Dia ingin hidup ini dijalani seperti para atlet bermain olahraga. Mereka menikmati apa yang dilakukan. Tidak ada rasa berat dan terpaksa. Mereka sedang menyalurkan hobi. Bisakah kita menjalani hidup dengan gembira seperti atlet sedang melakukan hobinya. Gembira, rileks, santai dan puas. Jika orang mengeluh, maka susah bersyukur dan hilang inisiatif.

Selain gembira dan rileks, atlet yang berhasil adalah atlet yang fokus. Jika tidak fokus maka tidak berhasil. Rileks dan fokus adalah modal keberhasilan. Lihatlah Maradona, Messi, Ronaldo, Liliana Natsir, Tantowoi Ahmad dan lain-lain. Selalu bermain dengan rileks dan fokus. Jika tegang langkah mereka serba salah. Owi dan Butet ketika menang dalam olimpiade Barcelona di lapangan selalu saling berbisik: fokus, fokus, rileks, jangan tegang.

Penelitian Nur Hidayati (2013) mengungkapkan,  anak-anak dalam sehari tertawa lebih 300 kali. Orang dewasa tidak lebih 1,5 kali. Anak melihat dunianya itu tempat bermain. Orang dewasa melihat dunianya dan tegang. Anak tertawa ketika melihat kupu-kupu atau boneka berkedip-kedip., tetapi orang dewasa tidak lagi tertawa melihatnya.

Hidup ini permainan tetapi bukan main-main. Permainan dan main-main itu beda jauh. Main-main itu tidak serius, tidak fokus, asal-asalan. Sedangkan bermain itu fokus, sungguh-sungguh dan bergerak menuju tujuan. Ada aturan yang harus dipatuhi. Jika aturan itu dilanggar, maka ada sanksi. Mulai peringatan sampai kena kartu merah. Bermain itu punya tujuan yaitu menang dalam pertandingan. Hidup juga harus punya tujuan. Dilakukan dengan fokus dan tidak melanggar aturan.

Yang bisa mengubah keadaan adalah pemain, bukan penonton. Karena itu jadilah pemain supaya punya kontribusi mengubah keadaan. Jumlah pemain dalam kehidupan tidak hanya sebelas seperti sepak bola, tetapi tidak terhingga. Kita ambil salah satu peran, lalu serius, fokus dan rileks.

Para tokoh Muhammadiyah telah memberi teladan dengan bermain cemerlang dalam ikut mendirikan NKRI. Kita harus menjaga, mencontoh dan melanjutkan.

Jangan hanya jadi penonton karena penonton itu hanya bersorak, berkomentar bahkan komentarnya kadang melebihi pemain paling ulung, menyalahkan ini, menuding itu. Nyinyir tetapi tidak mengubah apa-apa.

Al-Quran menyatakan hidup di dunia ini adalah permainan. Artinya, sebentar saja akan berakhir. Akhirat adalah hidup yang sebenarnya. Allah wasit Maha Agung menilai cara kita bermain di dunia. Yang dinilai bukan berperan sebagai apa, tetapi bagaimana cara membawa peran.

Ada menteri kesehatan pembantu presiden dan ada  manteri kesehatan pembantu dokter. Cuma beda huruf E dan A. yang dinilai Allah bukan jabatannya. Tetapi bagaimana dia bermain melaksanakan amanah. Di mata Allah boleh jadi mantri lebih mulia jika bekerja lebih amanah dari pada menteri.

Penulis: Fathan Faris Saputro (Founder Rumah Baca Api Literasi)

Ilustrator: Ni’mal Maula