Barangkali kita sudah tidak asing lagi dengan kata atau istilah “milenial”. Istilah tersebut merujuk pada anak-anak muda yang hidup atau lahir tatkala perkembangan teknologi semakin menggeliat. Di samping itu, terdapat berbagai anggapan bahwa kaum muda Muslim milenial larut dengan perkembangan teknologi dan tenggelam dalam arus globalisasi serta modernisasi, sehingga girah keagamaan mereka menurun.
Akan tetapi, khususnya bagi kaum Muslim milenial yang terjadi justru sebaliknya. Girah anak muda untuk belajar agama mengalami peningkatan. Hal ini terefleksikan dari beberapa survei dan antusiasme anak muda dalam menghadiri tabligh akbar dengan narasumber yang tentunya sering menghiasi layar datar dalam telepon cerdas mereka. Adapun fenomena yang tak kalah menarik, yakni “hijrah” di kalangan kaum muda Muslim Indonesia yang tentunya juga tak lepas dari munculnya kelompok Pemuda Hijrah dan sejenisnya yang cekatan dalam memanfaatkan media sosial.
Muslim Milenial
Pengelompokkan generasi termasuk dalam kajian sosiologi, yang mana klasifikasi tersebut disandarkan pada teori sosiologi generasi (Pilcher, 1994). Teori generasi ini awalnya dicetuskan oleh Karl Mannheim dalam essainya yang diterbitkan pada 1923. Dalam perkembangan selanjutnya kita mengenal pembagian sejumlah generasi mulai dari Generasi Era Depresi, Generasi Milenial, Generasi Z hingga Generasi Alpha.
Dilansir dari tirto.id, disebut generasi milenial karena mereka adalah satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi dicetuskan. Dalam KBBI, milenial diartikan sebagai orang atau generasi yang lahir pada tahun 1980-an dan 1990-an. Nama lain dari generasi milenial adalah generasi Y.
Jika kata milenial disandingkan dengan kata Muslim, maka kaum muda Muslim Milenial, khususnya di Indonesia adalah mereka yang lahir setelah tahun 1995 hingga tahun 2010.
Tentang Hijrah
Fenomena hijrah menjadi hal yang cukup menyita perhatian belakangan ini. Tren “hijrah” ini banyak digandrungi oleh kaum muda Muslim milenial. Bahkan, acara yang memakai kata hijrah, misalnya Hijrah Fest lebih memikat dan banyak dihadiri oleh kaum muda Muslim milenial. Lantas, hijrah macam apa yang dimaksudkan dalam tren tersebut?
Daoud S. Casewit dalam Hijra as History and Metaphor: A Survey of Qur’anic and Hadith Sources mengulas tentang hijrah dari tiga aspek, yakni preseden hijrah dalam Al-Qur’an, hijrah sebagai suatu peristiwa sejarah, dan hijrah sebagai kiasan atau metafora. Preseden hijrah dalam Al-Qur’an dapat dilihat dari kisah nabi Ibrahim dan Musa yang pergi meninggalkan kotanya lalu berpindah ke suatu tempat (al-Ankabut: 26 dan al-Qashash: 21).
Sedangkan dari aspek sejarah, hijrah merujuk pada peristiwa berpindahnya Nabi Muhammad bersama pengikutnya dari Mekah ke Madinah untuk menyelamatkan jiwa dan agama mereka yang saat itu mendapat perlakuan kekerasan dari kaum kafir.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukkan”. Maksudnya ialah kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah ke Madinah dikarenkan Mekah dikuasai oleh kaum kafir. Kemudian di tahun ke-8 Mekah itu telah dapat ditaklukkan, dan sekalian berhala telah dihancurkan. Sejak waktu itu, tidak ada lagi artinya kalau masih ada orang Mekah hijrah ke Madinah (Hamka, 2001).
Dari segi bahasa, hijrah adalah perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Artinya, kata hijrah lebih tepat digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan perpindahan tempat (geografis), bukan transformasi diri (dari buruk menjadi baik atau sebaliknya).
Berdasarkan hal di atas, perintah hijrah bertujuan untuk menyelamatkan jiwa dan agama sebagaimana maksud dari syariah itu sendiri. Selain itu, meskipun redaksi hadis di atas mengatakan tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan Mekah, namun bukan berarti pintu hijrah sudah tertutup.
Ada beberapa syarat yang mewajbkan orang untuk berhijrah. Misalnya, bagi kaum Muslim Uighur di Cina, India, Rohingya di Myanmar, Palestina, dan sebagainya mereka diwajibkan berhijrah sebab keselamatan jiwa dan agama mereka di tempat tersebut terancam.
Jadi, hijrah dilakukan apabila seorang Muslim mendapatkan perlakuan yang mana kemerdekaannya dalam menjalankan ritual keagamaan dilarang serta berpotensi untuk dimurtadkan. Maka mereka sebaiknya berhijrah ke negeri yang lebih menjamin hak kemerdekaan beragama tersebut.
Tren Hijrah di Indonesia
Menurut Najib Azca, sebagaimana dikutip dari Afthon Lubbi, hijrah adalah fenomena sosial yang menandai fase krisis dalam diri manusia khususnya generasi muda, yang berujung pada keinginan tranformasi diri dari buruk menjadi lebih baik yang indikatornya diukur dengan perubahan sikap beragama.
Hijrah yang dilakukan generasi muda tersebut juga sering ditandai dengan perubahan gaya hidup ala Timur Tengah. Terdapat ekspresi dan artikulasi generasi muda yang meniru bahasa dan adat istiadat Arab yang kadang kontradiktif dengan adat dan budaya yang sudah ada di Indonesia.
Jika hijrah tersebut diartikan sebagai perpindahan dari perilaku buruk ke perilaku yang baik, kenapa tidak menggunakan kata taubat atau insyaf? Bukankah kata tersebut lebih cocok untuk menggambarkan suatu transformasi diri?
Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah hijrah dari apa? Dari mana mau ke mana? Apakah terdapat sekelompok orang yang mengancam akidah agama mereka seperti sejarah hijrah Nabi Muhammad ke Madinah?
Atau ini adalah packaging baru dari ideologi ekstremis tentang doktrin Darul Kufr dan Darul Islam? Di mana kaum muda Muslim diajak berpindah dari Negara Bangsa (National State) yang dianggap tidak menerapkan syariat Islam ke Negara Islam (Islamic State) yang mereka dambakan. Atau hijrah dengan cara mengubah konstitusi negara ini dengan ideologi khilafah? (Center for the Study of Religion and Culture ‘CSRC’ UIN Jakarta, 2019).
Tren “hijrah” yang melanda Indonesia saat inilah yang mungkin disebut oleh Casewit dengan hijrah sebagai metafora. Contoh penggunaan kata hijrah sebagai metafora, dapat dilihat juga dari propaganda ISIS melalui majalah online Dabiq yang salah satu edisinya dalam isu 3 terbit pada 2014 berjudul “A Call to Hijrah”.
Dari berbagai hal tersebut, makna “hijrah” banyak diselewengkan dan mengalami pergeseran makna. Yakni, pergesaran dari yang awalnya bersifat teologis menjadi sesuatu yang sifatnya kultural (South China Morning Post, 2019). Lantas, fenomena “hijrah” yang melanda Indonesia saat ini termasuk kategori Islam yang mana?
*Pernah dimuat di sini
Comments