Inilah yang menyatukan umat Islam~

Bayangkan di bulan Ramadan tahun ini kamu bangun pagi, langsung ke kamar mandi, buang air, ambil wudhu, kemudian balik ke kamar segera menunaikan subuh dua rakaat yang lebih baik dari dunia dan seisinya. Lalu balik selimutan bersiap untuk tidur, mengambil gawai untuk memeriksa layar sejenak dan ternyata azan subuh di luar masih kurang 8 menit lagi.

Atau lebih tepatnya ada masjid yang telah mengumandangkan azan ada juga masjid yang belum. Perhatikan saja masjid/musala di sekitar kita berdasarkan jumlah rakaat saat salat tarawih atau penggunaan fitur doa qunut waktu salat subuh.

Jika kita teliti ada perbedaan waktu azan subuh di antara dua tipe masjid/musala yang saya jelaskan di atas. Bagi masjid/musala yang rakaat tarawihnya berjumlah 8 rakaat dan tidak menggunakan fitur qunut, waktu azan subuhnya lebih mundur dari masjid/musala yang tarawihnya 20 rakaat dan subuhnya menggunakan fitur qunut.

Perbedaan klasik seperti jumlah rakaat tarawih atau menggunakan qunut atau tidak belum selesai dan tidak akan pernah selesai kita dengar. Namun ada perbedaan baru yakni waktu subuh di antara internal umat Islam di Indonesia. 

Munculnya perbedaan waktu subuh tersebut dikarenakan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah mengeluarkan jurus otoritas agamanya melalui Majelis Tarjih dan Tajdid. Jika dalam film Sang Pencerah Kiyai Ahmad Dahlan diceritakan secara radikal pernah mengoreksi arah kiblat Masjid Gede Kauman Yogyakarta menjadi agak serong ke kanan 30 derajat, kini Muhammadiyah mengoreksi waktu subuh mundur 8 menit dari waktu yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Koreksi waktu subuh tersebut tak lepas dari kajian dan keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah yang mengatakan adanya perubahan posisi semula matahari di ketinggian minus 20 derajat menjadi minus 18. Tentu seperti biasa sudah menjadi tugas ormas sebagai civil society untuk selalu “mengoreksi” segala hal yang berkaitan dengan negeri kita tercinta ini.

Bagi orang awam yang taat beribadah serta sangat mempertimbangkan hal-hal fikih akan kebingungan melihat situasi ini. Ikut waktu subuh yang mana? Yang pertama atau kedua? Bagaimana dengan sahur di waktu antara azan satu dan kedua? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Bagi penganut “Islam kondisional” akan berbeda lagi, jika mengetahui fakta seperti ini tentu akan memilih waktu subuh yang lebih lama dengan alasan yang realistis yaitu bisa menambah durasi waktu sahur, sehingga bisa makan dan minum lebih banyak lagi dengan logika sederhana, semakin banyak manusia makan dan minum maka semakin kuat menahan rasa dahaga dan lapar dari fajar hingga azan magrib tiba dalam konteks ibadah berpuasa.

Bagi penganut Islam garis males gerak, malas bangun atau malas-malasan lainnya. Tentu waktu subuh yang diundur ini menjadi angin segar untuk kencan bersama selimut kesayangan. Atau bagi anak kos perantauan yang suka bangun kesiangan masih bisa memasak indomie di saat yang lain sudah melaksanakan salat subuh. Sampai salah satu teman saya yang tidak mau mengambil pusing akan perbedaan mengatakan; 

Rugi nek ora melu Muhammadiyah tenan, sholat ied ndisikan, subuhan luwih awan. Maghrib melu sing disik, imsak melu sing keri. Ngunu wae kok dipikir jeruuu“.

Seandainya tambahan waktu 8 menit tersebut dapat dinego sedikit lagi lebih lema layaknya membeli baju baru untuk hari raya di pasar saya yakin umat Islam di Indonesia akan semakin bergembira dalam ber-Islam. Namun untuk urusan hal-hal yang membutuhkan penghitungan dan pertimbangan secara matang tidaklah mudah untuk memaksakan kehendak beragama agar sesuai dengan selera kita dengan keluar dari koridor-koridor yang telah ditetapkan agama Islam. 

Namun dengan adanya perbedaan waktu imsak-subuh yang jika ditelisik lebih dalam dapat berdampak positif pada durasi sahur ini tidaklah menjadi perbedaan yang harus diperdebatkan dengan keras. Pasalnya untuk urusan perut memang bisa menyatukan manusia di antara berbagai kepentingan dan perbedaan, apalagi soal perbedaan paham dan keyakinan beragama yang menjadi konsumsi sehari-hari di media sosial.

Jika memang ada titik temu yang menyatukan mengapa tidak diambil titik temu tersebut? Atau mengambil mana yang paling tidak memberatkan. Sehingga dapat menjalankan agama dengan sukarela dan senang hati. 

Tidak sedikit perbedaan-perbedaan yang telah diyakini pemeluk agana, terutama dalam Islam sendiri yang tidak dirawat dengan baik dapat mengancam keutuhan bangsa atau di dalam agama itu sendiri. Karena perbedaan yang dimunculkan tidak memiliki titik kesamaan yang nyata terutama bagi kalangan awam yang boro boro mikir agama mana yang benar mana yang salah, mikir besok buka atau sahur apa masih munet.

Dengan adanya perbedaan waktu subuh ini bisa menjadi simbol dan spirit bahwa masih ada perbedaan yang dinantikan, selagi itu positif dan menghasilkan kemaslahatan lebih besar mengapa tidak diikuti. Dari anak 7 tahun hingga orang dewasa, laki-laki perempuan, berbagai macam aliran tentu sepakat jika durasi waktu sahur lebih lama lebih bagus. Tentu masih ada yang tetep kokoh dengan idealisme agama yang dianut untuk tetap mengikuti waktu subuh seperti biasanya sesuai pemerintah.

Tapi ini adalah wujud kecil perbedaan yang tidak banyak orang memperdebatkan tapi langsung melaksanakannya siapapun yang mendengar kabar ini. Harapannya ke depan ada perbedaan-perbedaan yang memiliki pola seperti ini, yang dapat menyatukan umat dari berbagai kalangan. 

Fix Ramadhan tahun ini penentuan awal puasa ikut NU, rakaat tarawihnya ikut Muhammadiyah, kecepatannya ikut NU, sahurnya ikut Muhammadiyah, Subuhnya tetep qunutan, 1 syawal ikut Muhammadiyah lagi. Indahnya Ramadan menyatukan kita.

Editor : Hiz