Pandemi ini rasanya membuat banyak orang kesulitan. Ada banyak hal-hal yang menjadi hilang, ada pula hal-hal baru yang menuntut penyesuaian. Ada banyak emosi yang kemudian bertubi-tubi kita rasakan. Janji Tuhan, hidup tidak hanya berisi duka cita. Namun ada bahagia yang beriringan. Kita jadi belajar menghargai sebuah pertemuan dan hal-hal kecil lain yang saat ini pun sulit untuk ada dalam genggaman. Kita dituntut untuk lebih sadar pada peristiwa yang tengah terjadi, belajar melakukan sesuatu yang semula jauh di luar kebiasaan, serta berkembang menjadi pribadi adaptif dan berkembang. Tapi, bagaimana jika sebaliknya? Di tengah-tengah kesulitan itu, kita terjebak dalam lingkungan toxic yang menjemukan.
Mari kita buat permisalan. Bayangkan, di tengah wabah Coronavirus-19 ini, kamu adalah mahasiswa tingkat akhir—yang tidak kunjung lulus. Suatu ketika, skripsimu mogok di perjalanan. Keluargamu tak kunjung berhenti menanyakan kapan kamu akan diwisuda. Sementara teman-teman seangkatan telah banyak yang berkecimpung di dunia kerja, kamu masih tertatih-tatih mencari subjek, dadamu sesak oleh tumpukan teori-teori, dan kotak masuk pesanmu hampir bersarang karena tak kunjung dibalas oleh dosen pembimbing. Kamu mencoba berkeluh kesah pada teman dekatmu. Alih-alih membuatmu tenang, responnya justru, “Alah, yang semangat dong, gitu aja nyerah. Aku dulu lebih sulit dari kamu karena harus asdfghjkl.” Mendengar jawaban semacam itu, kira-kira, apa yang kamu rasakan? Kecewa? Sedih? Atau justru marah?
Term ‘positivity’ seringkali digunakan untuk melihat setiap peristiwa hanya dalam satu sudut pandang. Kadang, maknanya justru merupakan bentuk pengingkaran pada hal-hal negatif dan peristiwa buruk yang tengah dialami. Padahal, mencoba untuk selalu positif di setiap keadaan mempunyai dampak signifikan terhadap kesehatan mental seseorang dan terkadang justru menjadi sebuah bumerang.
Pemikiran positif dapat melahirkan dampak negatif ketika hal tersebut menjadi bentuk penyangkalan emosi, overgeneralisasi, dan tidak peduli pada konteks. Menurut literatur psikologi, anjuran berpikir positif justru akan memperburuk keadaan orang yang sudah menilai dirinya rendah. Alih-alih membantu, mengucapkan hal-hal positif kepada orang yang baru saja terkena musibah atau sedang mengalami kesulitan justru dianggap sebagai sifat meremehkan. Ketika istilah “positivity” menjadi hal merugikan dalam kehidupan seseorang, maka itulah yang disebut sebagai toxic positivity.
Validasi emosi
Toxic positivity pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran emosi. Seseorang seakan ingin mengatakan kepada lawan bicara bahwa merasa sedih, cemas, khawatir atau takut adalah hal yang salah dan tidak perlu dilakukan dalam memandang sebuah masalah. Padahal, invalidasi terhadap emosi justru akan menambah masalah semakin berat, terutama pada beban mental di kemudian hari. Maka yang perlu dilakukan agar terhindar dari toxic positivity adalah dengan mengenali serta menerima segala emosi yang datang. Perlu diketahui pula, mengekspresikan emosi adalah hal yang normal. Emosi-emosi yang datang nyatanya tidak untuk kita sangkal, tetapi untuk kita beri makna.
Utamakan Empati
Tidak semua orang butuh disemangati saat mereka tengah menceritakan pengalaman dan emosi negatif yang sedang dialaminya. Perkataan positif terkadang justru dapat membuat penerimanya menjadi berkecil hati dan dapat memicu potensi depresi. Alih-alih mengucapkan kata-kata positif yang tidak tepat konteks hingga bahkan membanding-bandingkan penderitaan diri terhadap kesulitan yang tengah dialami oleh orang lain, empati adalah hal yang paling dibutuhkan bagi setiap orang yang sedang mengalami masalah.
Jangan buru-buru menanggapi dengan nasihat dan kata-kata positif yang justru kurang membantu. Ketika seseorang menceritakan permasalahannya kepadamu, seringkali mereka hanya meminta kesempatan untuk bisa didengar dan dipahami. Mendengarkan kisahnya tanpa menghakimi dan memberi jeda bagi orang tersebut untuk mengekspresikan emosi adalah hal yang penting untuk dilakukan.
Beri Alternatif Solusi
Berpikir positif bukan menjadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan ketika seseorang mengalami suatu kesulitan. Anjuran berpikir positif yang ditujukan pada orang yang tengah mengalami penderitaan justru dapat beresiko membuat frustasi karena seperti meremehkan persoalan yang sedang dihadapi. Positivity yang sesuai adalah ketika kita mampu memahami persoalan yang terjadi dan sekaligus dapat memberikan alternatif yang mencerahkan. Jadi selain memberi kata-kata positif, sudah selayaknya kita juga memberi alternatif solusi yang membangun untuk membantu orang lain dalam mengatasi permasalahannya.
Akhirnya, di tengah banyaknya kesedihan yang saat ini terbentang, semoga kita tidak lantas menjadi satu sebab bagi kesedihan dan kesulitan orang lain. Seperti Sajak Pertemuan Mahasiswa karya WS Rendra, tidak selamanya maksud baik itu berguna. Dan, “Maksud baik Saudara untuk siapa?”
Comments