Teruntuk orang yang tumbuh dan besar di lingkungan Nahdliyyin, apabila bulan suci Ramadhan tiba, yang mencengkeram kuat di kepala adalah salat Tarawih yang berjumlah 20 rakaat 10 salam. Dan teruntuk 8 rakaat 4 salam biasanya dinisbatkan kepada Muhammadiyah, kedua amaliyah ini pun pernah saya kerjakan di pondok dahulu. Di hari-hari biasa dilakukan 20 rakaat, sementara yang 8 rakaat biasanya dilakukan saat ada acara pondok yang mengharuskan keluar lebih awal. Dan itu biasa saja.
Namun, semua terasa aneh, eh maksudnya amaliyah yang cukup berbeda yang saya temukan saat menginjakkan kaki di bumi Yogyakarta untuk pertama kalinya. Kalau mau meminjam bahasa antropologi-sosiologi mungkin fenomena semacam ini yang disebut sebagai shock culture yang sedang menimpa saya.
Saat itu saya melakukan shalat Tarawih malam pertama Ramadhan tahun kemarin di masjid terdekat dari kos. Sekali lagi, biang masalah yang membuat shock culture saat salat Tarawih adalah tata cara pelaksanaannya (amaliyah) yang sangat berbeda, yakni dengan 4 rakaat dan satu salam, sementara saya sebagai “native Nahdliyyin” (untuk menyebut orang yang sejak kecil dekat dengan tradisi NU) secara otomatis niatnya “shalat Tarawih dua rakaat” dong sebagaimana lumrahnya yang telah saya lakukan, lah kok 4 rakaat satu salam, itu pun tanpa tahiyyat awwal. Makin menggejolak sudah.
Tidak hanya berhenti di situ, pertanyaan “kok bisa ya?” terus memburu saya yang kemudian memaksa saya untuk kemudian bertanya kepada salah seorang ustaz yang menurut saya mumpuni dan memiliki kapabilitas dalam bidang fiqh. Kemudian dikirimkan sebuah kitab yang membahas itu, tapi entahlah saya lupa bagaimana isinya, intinya saya kurang puas dengan jawabannya.
Akhirnya saya memutuskan selama berada di Jogja saat bulan Ramadhan saya harus Tarawih di masjid atau mushola yang berbeda di setiap malamnya. Sekitar 26 masjid atau mushola yang saya datangi, karena di malam ke-27 saya sudah harus pulang ke kampung halaman (sebut saja mudik). Setiap kali saya hendak berniat Tarawih, maka saya menyandarkan niat itu pada sang imam. Sebab pernah saat saya niat Tarawih dengan 4 rakaat sebagaimana masjid pada umumnya, eh ternyata menggunakan 2 rakaat, begitu pula sebaliknya.
Alhasil saya menemukan beberapa tipologi yang mewarnai keragaman amaliyah Tarawih selama saya pindah-pindah itu. Pertama, 8 rakaat 2 salam tanpa tahiyyat awwal. Kedua, 8 rakaat dengan 4 salam (perdua rakaat). Ketiga, 20 rakaat 10 salam. Oh ya yang terakhir terdapat satu ragam lagi yang mengkombinasikan antara tipologi pertama dengan tipologi ketiga.
Untuk tipologi terakhir ini tetap dengan prosedur pelaksanaan tipologi pertama, hanya saja saat tiba pada rakaat kedelapan biasanya diumumkan bahwa bagi yang hendak melaksanakan Tarawih 8 rakaat maka shalat witirnya dilakukan secara terpisah di area lain (di selasar masjid), sementara Tarawih yang 20 rakaat itu masih berlangsung dan tetap berlanjut. Untuk contoh yang ini, adalah masjid kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mewadahi perbedaan pendapat yang diakui sama-sama benar dan dilakukan tanpa diskriminasi satu sama lain ataupun berebut paling benar. Kesemua tipologi itu, berjalan lancar dan aman, bahkan tidak pernah ada satupun kasus kericuhan atau saling jotos hanya karena beda amaliyah Tarawih.
Diakui atau tidak, tipologi pertama dan kedua rasa-rasanya masih mendominasi untuk lingkungan Jogja dan sekitarnya, untuk tipologi yang ketiga masih beberapa dan tak sebanyak tipologi yang sebelumya, sementara untuk tipologi yang terakhir (sependek pengetahuan saya) sepertinya masih diwakilkan Masjid Kampus UIN.
Sehingga untuk saya pribadi yang hidup dan tumbuh besar di lingkungan yang mono-perspektif Nahdiyyin saat melihat keragaman yang ada seolah melihat barang asing yang tak pernah terjamah. Walaupun sebenarnya mau 20 rakaat ataupun 8 rakaat (dengan dua modelnya) semua sah dan memiliki pijakan nash-nash keagamaan berdasarkan ijtihad fiqh yang telah dilakukan para ulama. Dan yang salah adalah mereka yang hanya meributkan, saling tuding salah, berebut paling benar, tapi tidak jua menunaikan.
Uniknya teruntuk mereka yang mendaku diri sebagai Native Nahdliyyin yang familiar dengan 20 rakaat kerap mempraktikkan yang 8 rakaat. Alasannya pun sederhana, dengan berdalih keadaan yang tidak memungkinkan dengan mencomot diktum fiqhiyyah seperti, “al-‘adah muhakkamah ” hingga mendasarkan pada sebuah kisah Imam Syafi’i yang memilih tidak berqunut dalam subuhnya saat di masjid Imam Hanafi lantaran menghormati perbedaan, hal ini sebagaimana dilakukan AR (22) pemuda asal Madura yang juga menjadi mahasiswa UIN. Beberapa lainnya berdalih lantaran tempo bacaan surah di masjid-masjid Jogja cenderung lebih panjang.
Yang perlu digaris bawahi bahwa perbedaan adalah hal niscaya dan sangat wajar, itulah keunikan Islam yang memiliki keragaman yang begitu kaya yang sama-sama berpijak pada kitab suci Al Quran dan hadis yang diramu oleh ulama. Mau melakukan dengan tipologi mana pun, kesemuanya benar dan berdasarkan sumber-sumber teologis (Alquran dan Hadis).
Jogja berhati nyaman tidak hanya hidup dalam slogan, tapi terejawantah dalam rona keragaman shalat Tarawih yang ada, serta pengamal amaliyahnya pun hidup rukun tanpa pendiskreditan maupun persekusi betapa pun amaliyahnya berbeda. Kira-kira begitulah keragaman yang mewarnai setiap sudut Jogja.
Wallahu a’lam bi al-shawab
Editor: Saa
Gambar: Pexels
Comments