Mungkin sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar dulu atau bahkan saat masih di Taman Kanak-Kanak, kita selalu diajarkan tentang keberagaman. Mulai dari suku, agama, bahasa, warna kulit, profesi, dan hal-hal lainnya. Namun ternyata, ada sebuah hal yang sebenarnya sangat dekat bahkan penting dalam kehidupan kita yang luput dari pembahasan mengenai keberagaman ini. mengenai keberagaman makanan.

“Lah, siapa bilang makanan Indonesia tidak beragam? Setiap daerah punya makanan khas sendiri kok.” Memang sih makanan kita bneragam, mulai dari rendang, sate, soto dan makanan khas lainnya. Tapi pernah gak sih kita menyadari bahwa makanan pokok kita semua ini seragam? Beberapa minggu yang lalu, saya menonton live YouTube chanel Historia.ID, saat itu Historia sedang membahas tentang keberagaman makanan di Indonesia yang di zaman sekarang sudah tidak beragam.

Yang tidak beragam dalam hal ini adalah makanan pokok (Pangan). Dari ujung Sabang sampai Merauke, sebagian besar makanan pokok masyarakat Indonesia adalah nasi yang berasal dari beras. Padahal jika mengulik sejarah, makanan pokok masyarakat Indonesia seharusnya berbeda-beda. Kenapa bisa berbeda-beda? Karena sumber karbohidrat untuk dibakar menjadi energi sangat beragam di Indonesia. namun yang terjadi sekarang, masyarakat Indonesia menganggap bahwa kita belum makan kalau tidak makan nasi.

Misal nih kita makan singkong kukus, singkong juga mengandung karbohidrat seperti nasi. Bahkan singkong dipercaya lebih sehat daripada nasi karena kandungan gula yang lebih rendah. Namun karena popularitasnya lebih rendah dari nasi, seakan singkong hanya menjadi semacam cemilan, bukan untuk makanan pokok. Parahnya lagi masyarakat memandang rendah singkong, jika makanan pokok kita adalah singkong maka bisa dianalogikan kita adalah orang miskin yang tidak mampu membeli nasi. Fenomena ini benar-benar terjadi di desa saya.

Padahal sebenarnya tak ada hubungannya antara strata sosial dengan makan singkong. Tujuan dari makan sendiri adalah untuk mengenyangkan perut dan bertahan hidup, nah jika kita bisa bertahan hidup dengan memakan singkong, kenapa harus nasi? Toh sama-sama mengenyangkan. 

Menurut Fadli Rahman, seorang Sejarawan Gastronomi dan Dosen Sejarah Unpad, penyeragaman makanan pokok di Indonesia sudah terjadi sejak zaman kerajaan Mataram. Makanan pokok masyarakat yang semula beragam, misalnya sagu, ubi, talas dan singkong, perlahan diganti dengan beras. Pada zaman VOC dan Hindia Belanda, hegemoni beras tampak semakin besar. Bahkan hingga menjangkau pulau-pulau di luar Jawa.

Terlebih lagi saat penduduk dipaksa untuk menanam komoditas-komoditas yang dianggap menguntungkan bagi Pemerintah Hindia Belanda seperti rempah-rempah, kopi dan teh semakin meminggirkan potensi pangan lokal yang beragam. Mulai lah masyarakat Indonesia menganggap bahwa beras memiliki nilai yang prestisius dibandingkan dengan makanan pokok lain. Sagu, ubi, talas dan singkong yang sejak dulu dikenal sebagai makanan pokok justru terpinggirkan. Mereka hanya dianggap sebagai makanan sampingan bahkan hanya pagar rumah atau makanan ternak.

“Di beberapa daerah masih makan sagu kok” memang masih ada yang makan sagu, namun kebanyakan hanya untuk sajian di rumah makan atau restoran yang menhidangkan masakan khas, selebihnya makanan pokok di rumah-rumah ya sudah berganti dengan beras. Padahal jika kembali memandang dari kacamata kesehatan, makanan pokok lain lebih sehat daripada beras. Masyarakat mulai beralih dari beras ketika sudah terkena penyakit seperti diabetes.

Selain dari segi kesehatan, mengembalikan keberagaman makanan pokok atau pangan juga bisa memberi efek bagi ekonomi. Keberagaman pangan bisa membebaskan bangsa kita dari kebergantungan mengkonsumsi beras yang pada akhirnya menyebabkan negera kita sering mengimpor beras karena produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan.

Bayangkan berapa keuntungan yang bisa didapat oleh negara dan juga masyarakat jika kita sudah bisa lepas dari ketergantungan impor beras. Para petani juga bisa memiliki alternatif lain untuk ditanam tak hanya beras saja, bisa juga jagung, singkong, ubi, talas dan sagu. Bahkan kabarnya kata “Sangu dan Seggo” dalam bahasa jawa berakar dari sagu. Hal ini membuktikan bahwa zaman dahulu masyarakat jawa juga makan sagu sebagai makanan pokok.

Di Jember sendiri terdapat sosok yang memperjuangkan keberagaman pangan. Prof. Ir. Achmad Subagio MAgr PhD. Seorang Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember yang mencoba mengembangkan nasi yang berasal dari tepung mocaf. Tepung mocaf ini berasal dari singkong atau ketela pohon. Beliau mencoba mengembangkan beras sehat yang baik bagi pengidap diabetes. Selain untuk nasi, tepung mocaf yang beliau kembangkan juga diolah menjadi produk mie.

Salah satu makanan favorit orang Indonesia adalah mie. Bahan baku mie yang biasa kita makan ternyata adalah tepung terigu yang berasal dari gandum. Bahkan Indonesia menjadi salah satu bangsa dengan konsumsi gandum terbanyak. Sedangkan gandum sendiri hampir tidak bisa dibudidayakan di Indonesia. Jikalaupun bisa kualitasnya kalah jauh, maka untuk memenuhi kebutuhan itu lagi-lagi negara harus impor gandum. Jika tepung mocaf bisa diproduksi secara besar-besaran, maka ketergantungan kita terhadap impor gandum akan berkurang atau bahkan akan berhenti.

Pemerintah seharusnya memberi perhatian khusus terhadap isu ini. Mengembalikan makanan pokok Indonesia yang beragam juga akan berefek positif, tak hanya untuk kesehatan tapi juga bagi ekonomi negara dan masyarakat.   

Editor : Hiz