Artificial Intelligence (AI) atau Kecerdasan Buatan nyatanya masih menjadi barang baru bagi banyak kalangan, terlepas dari kehadiran dan fungsinya yang kian dibutuhkan oleh umat manusia. Sebagai gambaran, sebuah laporan yang ditulis oleh Darrel M. West dan John R. Allen menyebutkan bahwa saat 1.500 pemimpin bisnis senior di Amerika Serikat ditanyai mengenai AI, hanya 17 persen saja yang mengaku familiar dengan AI dan mengerti bagaimana AI dapat memberikan dampak pada perusahaannya.

Diketahui oleh banyak orang atau tidak, penelitian AI dan implementasinya pada teknologi akan terus berkembang, membawa transformasi pada semua aspek kehidupan manusia. Mengenai dampak dari kemajuan AI, Ilmuan sekelas Stephen Hawking dan Stuart Russel bahkan meyakini, jika suatu saat nanti AI telah mencapai kemampuan mendesain ulang dirinya untuk terus meningkat, sebuah ‘Ledakan Kecerdasan’ yang tidak dapat dihentikan mampu membawa manusia pada kepunahan.

Kecerdasan Buatan dan Peran Perusahaan Teknologi Raksasa

Bagaimanapun, riset AI akan terus menjadi sektor penelitian yang seksi untuk digarap oleh para perusahaan teknologi raksasa. Sebutlah Induk dari Google, Alphabet Inc. yang sejak 2014 telah mengakuisisi DeepMind, sebuah perusahaan dan laboratorium riset AI di London. Langkah serupa juga diambil oleh Microsoft yang menginvestasikan USD 1 Miliar kepada OpenAI, perusahaan riset AI berbasis di California yang didirikan oleh Elon Musk.

Dalam website resminya, DeepMind menyatakan bahwa barangkali kecerdasan buatan merupakan salah satu penemuan manusia yang paling berguna. Mereka berkomitmen untuk meneliti dan mengembangkan AI yang aman dan dapat ‘belajar’ bagaimana menyelesaikan masalah serta memajukan penemuan ilmiah untuk semua orang.

Visi yang serupa juga disebutkan oleh OpenAI. Mereka berkomitmen untuk memastikan Artificial General Intelligence (AGI)—sebutan mereka untuk sistem autonomous yang mampu melampaui manusia dalam menyelesaikan pekerjaan yang paling menguntungkan secara ekonomis—memberikan keuntungan untuk semua manusia. OpenAI juga menyatakan akan berusaha untuk membangun AGI yang aman dan berguna, namun tetap mengutamakan visinya terpenuhi jika itu membantu orang lain.

Secara sekilas, komitmen DeepMind dan OpenAI barangkali terdengar akan terus menjaga relevansi umat manusia sebagai makhluk yang berguna. Sementara itu, suara yang meragukan manusia akan tetap relevan dan berguna pada era kemajuan AI datang dari professor sejarah di The Hebrew University of Jerusalem, Yuval Noah Harari, pengarang buku bestseller Sapiens.

Harari menyebut kemajuan AI akan melahirkan ‘useless class’ dalam peradaban manusia. Menurutnya, manusia memiliki dua jenis kemampuan yang membuatnya menjadi berguna: fisik dan kognitif. Kekuatan fisik manusia yang diperlukan untuk menyelesaikan hal-hal melelahkan dan repetitif itu telah dikalahkan oleh mesin sejak revolusi industri. Lalu kita bergantung pada kekuatan kognitif yang tidak dapat dicapai oleh mesin untuk tetap aman memiliki pekerjaan.

Pertanyaannya, sampai kapan?

Perhatian para raksasa teknologi dalam mengembangkan AI saja sudah cukup menjadi parameter yang mengindikasikan bahwa kemampuan kognitif mesin akan terus berkembang secara cepat. Dan tidak lama lagi, mesin akan menjadi juara dalam pasar tenaga kerja yang selama ini kompetisinya dimonopoli oleh manusia dengan kemampuan kognitifnya.

Self-driving car akan menjadi contoh nyata kompetisi itu. Selama ini, sebagian besar kecelakaan lalu lintas di jalan raya disebabkan oleh faktor kelalaian manusia; emosi tidak stabil, mabuk, kantuk, dan faktor-faktor manusiawi lainnya. Yaitu, faktor-faktor yang tidak akan dialami oleh robot cerdas jika mereka mengemudikan kendaraan. Menggunakan dalih membuat lalu lintas yang lebih aman dan menyelamatkan nyawa manusia lebih banyak dengan bantuan robot cerdas saja, ratusan ribu pekerjaan pengemudi sudah terancam. Padahal, itu baru pada satu bidang saja.

Menurut Harari juga, generasi muda saat ini akan merasakan konsekuensinya. Apa yang mereka pelajari hari ini di sekolah dan kampus-kampus, akan menjadi tidak relevan saat mereka berusia 40 atau 50.  Jika generasi tersebut dan yang lahir setelahnya ingin tetap memiliki pekerjaan, memahami dunia, dan tetap relevan untuk hidup di bumi, mereka harus terus menemukan diri mereka lagi dan lagi, dengan lebih cepat dan lebih cepat lagi.

Penulis: M. Ulil Albab Surya Negara

Penyunting: Aunillah Ahmad