Banyak hal-hal konyol tentang Indonesia, saya pikir pembaca juga sepakat. Namun belakangan banyak fenomena lucu dan miris yang dilabeli kalimat sepeti only in Indonesia, cuma warga +62, dan beberapa ungkapan lain yang intinya menganggap itu kekonyolan khas kita. Benarkah hanya disini kekonyolan itu terjadi?

Beberapa waktu lalu ada sebuah perbincangan di twitter seputar ramalan anak indigo tentang banyaknya bencana-bencana yang terjadi di Indonesia tahun 2020. Obrolan itu memuncak pada Sabtu (11/04) saat dini harinya ada suara dentuman misterius yang terdengar oleh sebagian warga Jabodetabek tak lama setelah gunung Anak Krakatau di selat sunda meletup kecil. Hal ini didukung situasi yang sedang masa penuh kekhawatiran covid-19.

Tentu, tak lama setelahnya muncul guyonan tentang cuitan anak indigo tersebut. Sebagian ada yang merespon dengan narasi “cuma di Indonesia yang masih percaya ginian” atau “negara lain sains udah jadi patokan tapi netizen orang Indonesia masih ada aja yang kaya gini,” dan masih banyak ocehan lainnya.

Anggap saja sebagaimana warganet lain, saya juga tidak percaya  dengan argumen-argumen  para indigo, tapi kenapa sebagian orang mengkritisi topik indigo ini dengan melabeli sebagai kekurangan Indonesia? Toh sebenarnya hal itu jamak terjadi dimana-mana. Sylvia Browne, wanita asal Amerika bahkan pernah menuliskan ramalan dalam buku berjudul End of Days tentang  adanya penyakit sejenis pneumonia yang akan terjadi sekitar tahun 2020-an. Buku itu terbit tahun 2008 dan penulisnya sudah meninggal di tahun 2013. Masih banyak lagi ramalan dan prediksi sejenis dari berbagai benua, coba googling saja.

Ada dua hal yang bisa diambil hikmahnya dari contoh kasus diatas, pertama para indigo di Indonesia telat mendapat mimpinya atau setidaknya mereka telat mempublikasikan kisahnya. Kedua warganet +62 menganggap indigo Indonesia adalah yang paling konyol, padahal kan bukan mereka yang bikin pertama ramalan lho.

Sebagian dari respon sejenis itu mungkin hanya guyonan sambil lalu warganet, namun saya yakin ada yang mengutarakannya dengan ironi sepenuh hati. Menurut saya ironi bernada ‘cuma di Indonesia’ yang muncul tulus sepenuh hatilah yang begitu meyakini hal-hal yang dianggap kurang oke itu hanya terjadi di antara kita. Nyatanya tidak selalu demikian.

Mungkin ada semacam rasa inferior yang melekat di dalam diri sebagian orang dalam menyikapi hal-hal itu. Menganggap masyarakat kita adalah sekelompok orang yang penuh hal-hal bodoh dan kurang melek sains.

Padahal terkadang, hal lucu yang dianggap bodoh itu adalah sesuatu yang manusiawi dan ada dimana-mana. Meski tidak semua, sebab tetap ada hal-hal yang menjadi kearifan lokal kita. Tapi mengapa kita tidak menertawakan kebodohan itu semata? Tanpa  menganggap hanya kita yang bodoh dan lucu.

Atau setidaknya lakukanlah riset kecil-kecilan terlebih dahulu, apakah benar hal itu memang benar hanya terjadi diantara masyarakat kita. Tak susah sebenarnya, mengusahakan riset sederhana mungkin sebenarnya semudah mengatakan masyarakat kita konyol.

Belakangan saat terjadi wabah covid-19 di seluruh dunia, anggapan bahwa masyarakat kita paling bermasalah  juga semakin sering muncul. Maklum, luapan informasi tak terbantahkan lagi sejalan dengan banyak hal-hal yang dianggap miris diberitakan. Misalnya saja tentang penolakan jenazah korban virus yang ditolak oleh masyarakat yang terjadi di beberapa tempat tanah air, itu juga terjadi di India dan Nigeria. Setidaknya itu yang baru saya ketahui, bisa jadi masih ada lagi di beberapa negara lain.

Jika yang saya jadikan contoh itu dianggap hanya negara dunia ketiga dan kurang maju, saya beri contoh kasus lain. Di Inggris dan Belanda, terjadi pembakaran tower seluler 5G karena termakan hoaks yang mengatakan tower tersebut terhubung ke China dan menyalurkan wabah covid-19.

Setidaknya kejadian itu menjadi refleksi buat saya bahwa ternyata orang Indonesia tidak seburuk itu. Toh, belum ada yang terhasut hoaks sampai membakar tower semasa pandemi covid-19 terjadi di sekitar kita. Kegemparan mentok pada fenomena Jerinx SID yang katanya mengobarkan perlawanan pada elit global.

Kembali ke awal, pola-pola menganggap kelompoknya rendah dan tidak sepintar yang lain mungkin saja adalah sisa-sisa sifat masyarakat pasca kolonialisasi yang belum sepenuhnya lepas dari belenggu inferioritas. Tak jauh beda dari kebiasaan masyarakat yang suka meminta berswafoto jika ada turis berkulit putih yang sedang berkunjung ke daerahnya.  Mereka mungkin merasa bule lebih menarik secara fisik sehingga bagus jika mendokumentasikan diri bersamanya.

Sudah lama bangsa kita lepas dari  belenggu kolonialisme secara fisik, entah secara mental. Dalam konteks yang sangat sederhana, mungkin ini saatnya kita menertawakan, miris, bahkan mengkritisi hal-hal yang anggap saja lucu itu dengan tanpa menganggap hanya kita yang sekonyol dan selucu itu. Sebab dunia ini penuh orang lucu dan kemirisan tidak mengenal warna kulit dan letak geografis.

 

Penulis : Hammam Izzuddin

Ilustrator: Ni’mal Maula