Pernahkah kalian mengikuti pelatihan kepenulisan, dan mendengar pembicaranya berkata, “Menulis itu mudah!”. Atau baca artikel entah dimana yang bertuliskan “Siapapun bisa menulis”? Jika iya, anda tidak sendirian. Saya pun begitu, sering menemui statement semacam itu.

Memang sih, tujuannya baik; untuk memotivasi orang-orang agar tergerak menulis. Tapi jujur saja. Bagi saya, statement tersebut terdengar seperti toxic positivity. Lho kok, bisa begitu?

Bagaimana tidak. Buat orang-orang yang sudah menekuni dunia kepenulisan – entah menulis selama setahun, dua tahun, bahkan bertahun-tahun – statement itu seolah meremehkan perjuangan mereka yang sudah menulis sejak lama.

Sebut saja untuk membuat tulisan bisa menembus media massa nasional – seperti Kompas, Jawa Pos, Republika dan media terkenal lainnya – susahnya minta ampun. Ya, karena persaingan media massa nasional itu sangatlah ketat.

Apalagi jika yang mengirim tulisan adalah anak muda seperti kita. Bagaimana caranya coba, dapat menang bersaing dengan kolumnis koran yang rata-rata dosen, pakar di bidang tertentu, atau orang-orang bergelar lainnya?

Ya bisa saja sih tembus dengan mudah. Itu pun kalau anak muda ini punya privilege – katakanlah akses orang dalam di media massa, atau anak pejabat – jadinya ya tinggal kirim tulisan… dan tadaa! Tulisan sudah langsung dimuat di Republika, misalnya. Dengan modal usaha menulis sekali, tulisan udah dimuat di media massa nasional! Hebat betul nih anak muda! Jadinya statement “Menulis itu Mudah” terlegitimasi betul.

Butuh Perjuangan yang Panjang

Padahal – mungkin jika kalian ingin tahu – cukup banyak kisah orang-orang yang perlu menulis bertahun-tahun agar tulisannya dapat dimuat di media massa nasional. Contohnya saja, dalam kelas kepenulisan online yang pernah saya ikuti, pembicaranya bilang kalau dia butuh 50-an kali tulisannya ditolak Kompas, untuk kemudian akhirnya berhasil diterbitkan di media itu. Ya, beliau yang dimaksud adalah Yusuf Maulana, seorang ustadz sekaligus kolumnis Republika online.

Contoh lainnya, tulisan yang saya baca di Geotimes dengan judul Benarkah Menulis itu Bakat?, sedikit mengisahkan perjuangan menulis sesosok cerpenis bernama Muhammad Damhuri. Penulis artikel itu menceritakan kalau Pak Damhuri perlu menanti 11 tahun agar tulisan cerpennya bisa lolos di Kompas.

Kisah kedua orang yang saya tuliskan, barulah sedikit dari banyaknya penulis profesional, yang mengalami hal serupa. Maksud saya adalah, jika kalian kurang mempercayai argumen saya, kalian bisa mencari tahu lagi. Di mbah google maksudnya hehe.

Dari kisah perjuangan penulis media massa tersohor yang pernah saya baca, saya berkesimpulan bahwa menulis bukanlah perkara mudah. Melainkan menulis itu penuh perjuangan dan kegigihan dalam melakukannya. Bahkan, butuh kelapangan dada, ketika tulisan yang sudah dibuat susah payah akhirnya ditolak media massa.

Ya, coba kalian bayangkan. Mengumpulkan bahan tulisan butuh waktu lama. Terus, dilanjutkan dengan menyusun kerangka tulisan, yang tidak kalah menguras waktu. Belum lagi kalau suasana hati tidak bersahabat. Walaupun sudah ada kerangka tulisan – kalau misal pikiran lagi buyar, kurang konsentrasi, atau mood kurang baik – menulis itu jadi sulit sekali dilakukan. Eh, saat tulisan dikirim ke media massa, cek di website-nya untuk melihat tulisan sudah dimuat atau belum, tahunya ditolak. Bagaimana bisa menulis itu dikatakan mudah?

Mulailah Menulis Meski Tidak Mudah

Maka dari itu, saya sampai berpikir. Apakah yang membuat statement “Menulis itu mudah!” sudah sering menulis, dan mengirim tulisan-tulisannya ke media massa? Apakah karya-karyanya itu kerap kali ditolak atau justru diterima seketika? Jika iya, sungguh terlalu di luar nalar! Maksudnya ya, kurang masuk akal hehe.

Masalahnya – seperti yang saya bilang sebelumnya – menulis itu pada kenyataannya tidak mudah dilakukan. Jika kalian melihat ada penulis senior yang jam terbangnya tinggi dan karya-karyanya sudah best seller, cobalah baca di halaman belakang buku, bagian “Riwayat Penulis”. Di situ akan kalian temui, kalau penulis-penulis itu mulai menulis sedari mahasiswa, remaja, atau bahkan belia. Yang artinya – bisa dikatakan – untuk bisa mahir menulis itu butuh ketekunan dan perjuangan sangat panjang.

Oleh karena itu daripada terbuai dengan kata-kata “Menulis itu mudah!”, untuk kalian yang baru ingin menulis, sebaiknya dari sekarang mulailah menulis. Cobalah menulis setiap hari selama sebulan. Jika sudah berhasil melalui tahapan ini, ajukan pertanyaan ke diri sendiri, “Apakah saya kuat selama menjalani proses itu?”

Terakhir, jangan lupa kirim tulisan ke media massa untuk menguji kualitas tulisan yang dibuat. Agar nantinya, kalian bisa menyimpulkan sendiri, apakah menulis itu mudah atau tidak. Selamat mencoba!