Pasangan kamu sedang skripsian? Yuk simak kiat-kiat menemaninya!

Sebagai tugas akhir pada jenjang S-1, bagaimana pun keadannya skripsi harus diselesaikan. Jika tidak selesai di semester 8, ia bisa dilanjutkan di semester berikutnya, tapi risikonya kita harus bayar UKT lagi. Memang seperti itulah kehidupan, my love! Segala sesuatu pasti memiliki risiko, bahkan hal kecil sekali pun.

Lantas, bagaimana cara menghadapi problematika tersebut? Kita bisa menggunakan kaidah, “Dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih” (mencegah kerusakan lebih didahulukan ketimbang mengambil kemaslahatan). Nah, dalam konteks durasi pengerjaan skripsi tadi, maka yang lebih baik dilakukan tentu saja rampung tepat waktu di semester 8. Sebab, hal tersebut bisa mencegah orang tua kita untuk membayar UKT lagi.

Namun, jalan mengerjakan skripsi nyatanya tak semulus aspal korea. Ia berliku dan berlubang layaknya jalan di Indonesia. Ya! Dalam proses pengerjaan skripsi biasanya terdapat dua hambatan. Pertama, hambatan internal. Bentuk hambatan ini biasanya rasa malas atau kesalahan menentukan prioritas. Hambatan ini bisa kita atasi asal kita punya kemauan yang kuat untuk menanggulanginya.

Hambatan kedua adalah hambatan eksternal, hambatan ini berada di luar kontrol kita. Hambatan eksternal ini misalnya laptop yang tiba-tiba rewel, atau dosen pembimbing yang membingungkan (2 dosen pembimbing yang pendapatnya bertolak belakang), atau keadaan finansial yang entah bagaimana tiba-tiba kurang sehat untuk membiayai penelitian.

Hambatan eksternal itulah yang membuat banyak orang terhambat pengerjaan skripsinya. Jadi, kalo’ ada orang yang belum selesai skripsinya, jangan keburu dihakimi ya, my love! Siapa tahu dia ada masalah tersendiri. Jadi, lebih baik tanyakan dulu apa sebabnya kok skripsinya belum selesai.

Bicara soal skripsi, sepertinya sudah lumayan banyak bertebaran panduan dalam mengerjakannya. Nah, biar seimbang kali ini saya akan sedikit memaparkan kiat-kiat menemani pasangan yang sedang skripsian.

Menjadi Pendengar yang Setia

Dalam banyak aktivitas, termasuk ngerjakan skripsi, sambat adalah sebuah keniscayaan. Alih-alih bilang, “Kamu itu harusnya bersyukur karena dapat menikmati bangku kuliah. Di luar sana banyak orang berharap bisa masuk kuliah tapi terhalang banyak hal!”, yang bisa-bisa malah menjatuhkan semangatnya ketika sedang skripsian, akan lebih baik bila kita mendengarkan keluh kesahnya.

Masalahnya adalah meski kita punya 2 telinga, tapi sangat sedikit dari kita yang berkenan menjadi pendengar. Saya rasa waktu ketika pasangan sedang skripsian adalah momentum yang tepat bagi kita untuk belajar menjadi pendengar.

Dalam buku yang bertajuk, “Baca Buku Ini Saat Engkau Ingin Berubah”, yang ditulis oleh Rahma Kusharjanti dijelaskan bahwa pendengar yang baik itu akan mengomentari atau memberi saran jika orang yang bercerita padanya telah selesai bicara. Itu pun kalau memang orang tersebut meminta komentar/saran. Bila pihak pendengar merasa harus menginterupsi, semestinya ia meminta izin terlebih dahulu.

Itu kan kriteria pendengar yang ‘baik’. Mungkin bagi sebagian orang hal tersebut susah banget dilakukan. Jika memang demikian, maka cukuplah kita menjadi pendengar yang ‘setia’. Caranya gimana? Ya kita (berusaha selalu) dengerin keluh kesah pasangan kita tentang proses pengerjaan skripsinya sampai dia selesai bicara.

Terus ketika udah selesai dan kita bingung mau merespons bagaimana, kita bisa gunakan saran ala-ala pemuda hijrah yang tentunya terkesan uwu tapi islami. Ya! Sarannya seperti ini, “Sering-sering curhat sama Allah di sepertiga malam ya, my love!”.

Tidak Menyalahkan

Apabila pasangan kita merasa ingin berhenti kuliah, jangan sampai kita berucap, “Kamu tuh nggak boleh kayak gitu!”. Mengapa demikian? Sebab hal tersebut akan memberinya dampak psikologis yang buruk. Ingat! Bisa jadi pasangan kita udah banyak dimarahi oleh dosen pembimbingnya. Hal termaktub tentu membuatnya merasa lelah dan tertekan.

Nah! Sebagai tempat berpulang baginya, kita jangan sampai ikut-ikutan mengintimidasi dia. Mungkin dia pulang hanya ingin me-recharge dirinya sejenak supaya esok hari memiliki energi untuk kembali menghadapi kenyataan perihal skripsi. Oleh sebab itu, akan lebih baik bila kita berujar, “Nggak papa kok merasa lelah, itu manusiawi. Kamu bisa istirahat sebentar, tapi ya jangan minta nikah sebelum lulus, my love!”.

Kuncinya Sabar

Ini tampaknya terkesan sangat klise. Penyebabnya jelas, karena kita sudah sering mendengarnya dari yang terhormat bapak presiden Jokowi. Tapi, bagaimana pun hal tersebut memang sangat relate sih menurut saya. Misal, ketika pasangan kita fokus banget ngerjain skripsi sampai kelelahan dan akhirnya ketiduran, sementara kita di sini menunggu balesan chat darinya, ya apa lagi yang bisa kita lakukan selain sabar?

Kalau kita malah ngamuk-ngamuk padanya karena hal tersebut, dia malah merasa dapet beban double. Beban pertama dia harus segera menyelesaikan skripsinya, beban kedua dia harus menahan diri agar nggak ketiduran untuk bisa bales chat. Wah, ini kalo’ pikirannya nggak mampu menanggung 2 beban tersebut bisa berdampak stres, bahkan nggak menutup kemungkinan berujung depresi. Jadi, ya kita memang harus sabar.

Jika kasusnya berbeda bagaimana? Misal, dia nggak segera bales chat kita dengan dalih masih ngerjain skripsi. Ternyata dia ngerjain skripsinya itu sambil disuapin oleh orang lain (lawan jenis). Dia pun tenggelam dalam ke-uwu-an dan kita terlupakan. Maka, sudah saatnya kita sadar diri bahwa kita cuma na’ibul fa’il yang hanya dibutukan ketika fi’il (pasangan kita) dalam keadaan majhul; dan tentu saja―seperti yang dikatakan oleh pak Jokowi―kita harus sabar.

Editor: Ciqa

Gambar : Pexels