Salah satu ritual wajib keluarga kami adalah membeli baju bersama-sama di masa-masa akhir Ramadan. Saya pun jadi teringat kejadian Ramadan tahun lalu. Saat itu Kakak saya –Mbak Nadia namanya, baru saja sah menjadi seorang istri. Otomatis ia pun harus berpisah dengan kami termasuk saat membeli baju dan melakukannya dengan sang suami.

Tapi di hari yang sama, ia malah pulang dengan mengomel kalau ritual membeli baju tak seperti biasanya.

“Dia ki bingung pak tuku opo. Biasane karo Ibu terus saiki dewe. Akhire mung tuku loro klambi tok (Dia itu bingung mau beli apa. Biasanya sama Ibu, terus sekarang sendiri. Akhirnya cuma beli dua baju deh). Ujarnya ke Bapak.

Kami pun menanggapinya dengan tertawa meledek, lalu menceritakan keseruan berbelanja kami di hari sebelumnya. Bahkan sempat bergurau kalau kami bisa lebih leluasa memilih baju ketika hanya berempat begini. Tentunya waktu bisa lebih dimaksimalkan sehingga tak sampai berbelanja hingga larut malam karena tidak ada acara keliling mengecek promo ini-itu seperti yang biasa Mbak Nadia lakukan.

Anggaran sing maune gawe cah 5 saiki iso dipangkas dan dialokasikan ke tempat yang lebih baik (Anggaran yang sebelumnya dibagi untuk lima orang berkurang dan bisa dipangkas untuk dialokasikan ke tempat yang lebih baik) Candaku ke kakak cewek satu ini.

Iyo, Ibu saiki iso rampung lewih cepet, Bapak gek mbayar ke kasir Ibu wes rampung (Iya, Ibu sekarang bisa selesai belanja lebih cepat. Bapak baru bayar ke kasir Ibu udah selesai).” Ujar Ibu.

Saya pun sontak menambahi “Halah tapi Ibuk tetep wae numbaske klambi ngge Mbak Nadia kok haha (Halah, tapi Ibu tetap aja membelikan baju buat Mbak Nadia kok haha).”

Biasane gelut wae tapi basan pisah ora tegel karo anake (Biasanya berantem terus tapi giliran pisah jadi nggak tega sama anaknya.” Ujar Bapak.

Ucapan spontan Bapak tadi membuat kami semua tertawa, pun sekaligus merenung. Betapa besarnya rasa sayang Bapak dan Ibu kepada anaknya, meskipun kini sudah menjadi seorang istri. Betapa susahnya merelakan anak yang ia asuh puluhan tahun dan kini harus berpisah, walaupun cuma ritual kecil seperti ini saja.

Percakapan tadi pun diakhiri dengan basahnya mata Ibu dan Mbak Nadia. Seperti biasa.

***

Kisah ini saya tulis pada 1 Juni 2019 atau bertepatan pada 27 Ramadan 1440H. Kejadian yang terus akan saya ingat dan saya rindukan tentunya. Apalagi di Ramadan kali ini semuanya berbeda –yang bahan untuk sekadar bertemu dan berkumpul di rumah saja agaknya sulit dan terbatas, apalagi melakukan ritual keluarga kami untuk beli baju lebaran bersama seperti cerita di atas. Semoga senantiasa semuanya diberi kesehatan dan kita dapat menjalankan Ramadan dengan penuh sukacita.

 

Penulis: Hisyam Abdi El Aziz