Terkadang, orang-orang lebih mengedepankan eksistensi daripada esensi. Sehingga yang ingin dicapai hanya sebatas pengakuan, bukan kemampuan. Orang-orang seperti itu biasanya melakukan klaim diri terhadap suatu profesi supaya terlihat keren. Padahal, kemampuan yang dimiliki belum mumpuni dalam bidang profesi yang diklaim tersebut.
Klaim pada sebuah profesi biasanya dilakukan oleh orang-orang yang masih muda, seperti mahasiswa. Ada beberapa mahasiswa yang saya temui mengklaim diri sebagai sastrawan, padahal baru menerbitkan satu buku kumpulan puisi. Itupun diterbitkan secara mandiri.
Kemudian, ada juga beberapa mahasiswa yang saya kenal, dalam bio media sosialnya menuliskan dirinya sebagai entrepreneur. Padahal dia baru punya usaha jualan daring yang sangat kecil, itupun pekerjaan sampingan. Tidak dijalankan secara masif pula, haduuh.
Sok Aktivis
Profesi lain yang sering diklaim oleh para mahasiswa adalah aktivis. Padahal, kenyataannya dia hanya aktif di organisasi saja, tidak benar-benar berjuang untuk rakyat kecil dan kaum tertindas. Terus kalau demo hanya ikut-ikutan dan numpang. Orang-orang yang mengeklaim diri sebagai aktivis ini yang paling membuat saya jengkel.
Bagaimana tidak, kuliah lulus lama dengan alasan berjuang untuk rakyat, padahal kerjaannya cuma aktif di organisasi, ngopi dan sedikit diskusi. Ditambah lagi hidup di perantuan dengan bantuan finansial dari orang tua. Berjuang dari mana? Yang ada justru menambah beban orang tua karena terlalu lama lulus kuliah. Orang tua harus mengeluarkan biaya lebih untuk anaknya yang sok-sokan aktivis itu.
Pembicara
Selain aktivis, profesi lain yang sering dipakai dalam lingkungan kampus adalah pembicara atau pemateri. Tidak jarang profesi ini diklaim oleh orang-orang yang ingin terlihat keren dan berisi otaknya. Biasanya profesi ini banyak diklaim oleh para mahasiswa tua, para senior.
Hanya karena sering diundang untuk mengisi acara pelatihan organisasi kampus, para senior ini dengan sangat percaya diri dan berani mengklaim diri mereka sebagai pembicara publik. Bahkan ada beberapa yang berani mengklaim diri sebagai motivator atau inspirator.
Meski, kedatangan mereka dalam acara pelatihan organisasi kampus memang memberikan manfaat dan inspirasi dari cerita pengalaman mereka. Namun, apakah itu cukup untuk diakui sebagai seorang pembicara publik seperti motivator dan inspirator di lingkungan masyarakat luas?
Ditambah lagi pengalaman yang dimiliki sebagian besar hanya dalam hal berorganisasi di kampus. Itupun dengan waktu kuliah yang lulusnya lama. Apakah ada motivator atau inspirator yang hanya mengandalkan pengalaman organisasi di kampus saja?
Penulis
Selain di lingkungan kampus, ada juga profesi yang sering diklaim oleh orang-orang dari berbagai usia: penulis. Saya menemukan banyak orang yang mengklaim diri sebagai penulis. Padahal kenyataannya, dia hanya menulis tidak lebih dari sepuluh artikel setiap bulannya.
Berprofesi sebagai penulis menurut saya pribadi memang keren. Jadi wajar kalau banyak orang yang ingin disebut sebagai penulis agar terlihat lebih keren dan tidak dianggap sebagai pengangguran karena hanya di rumah saja.
Klaim diri Hanya untuk Terlihat Keren
Sebenarnya tidak masalah mengklaim sebuah profesi yang kita inginkan. Mungkin, itu merupakan sebuah usaha untuk memasarkan diri agar dikenal sebagai penulis, aktivis, pengusaha, dan lain sebagainya. Tetapi jangan hanya mengedepankan pengakuan, harus diimbangi dengan kemampuan.
Jika kita ingin mengklaim sebuah profesi, kita harus introspeksi diri terlebih dahulu. Sudah seluas apa pengalaman kita, sudah berapa karya yang diterbitkan, sudah sekaya apa ilmu dalam bidang profesi yang diinginkan?
Karena ada orang-orang yang kemampuannya sudah mumpuni dalam suatu profesi, tetapi dengan rendah hati enggan mengakui profesinya. Ada seorang pengusaha besar tetapi tidak mengeklaim diri sebagai entrepreneur. Ada penulis yang sudah menulis dan menerbitkan puluhan buku tetapi masih merasa belum pantas disebut sebagai penulis.
Ingat, bahwa kemampuan itu lebih penting daripada pengakuan, bukan sebaliknya.
Penulis: Riyannanda Marwanto
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments