Bisa dibilang soal sepak bola, kota Solo tak sementereng Malang dengan Arema-nya, atau Bandung dengan Persib-nya, atau kini semakin tertinggal dari Semarang dengan PSIS-nya. Kendati begitu, wong Solo pernah merasakan hegemoni sepak bola di mana Persis Solo merengkuh 7 gelar Perserikatan, terbanyak kedua setelah Persija. Yah, walau sejatinya terlalu usang untuk diglorifikasi.

Selepas Perserikatan prestasi Persis memang anyep, sekalipun dulu pernah digdaya. Tapi sepak bola tak pernah benar-benar hilang dari Bumi Bengawan. Di tengah mati surinya Persis Solo, setidaknya wong Solo pernah merasakan euforia sepak bola di Bumi Bengawan, meski keceriaan itu tidak datang hanya dari Persis Solo, sang pribumi di tanah sendiri.

Euforia sepak bola di Kota Solo

Keceriaan itu bermuara dari Pelita Bakrie, tim tamu yang berkunjung ke kota Solo pada tahun 2000 dan meresmikan nama baptisnya di Solo menjadi Pelita Solo. Kedatangan Pelita ke Solo disambut wong Solo yang birahi akan sepak bola-nya kadung memuncak, dengan gegap gempita. Pelita Solo-lah yang pada akhirnya menjadi embrio lahirnya Pasoepati, sebagai kelompok suporter terbesar di kota Solo.

Mayor Haristanto menginisiasi terbentuknya Pasukan Suporter Pelita Sejati atau Pasoepati, yang menjadi wadah wong Solo dan sekitarnya untuk sama-sama mendukung Pelita Solo, tim tamu yang diadopsi sebagai tim sendiri. Sayang, euforia wong Solo berlangsung singkat, percintaan wong Solo dengan Pelita berakhir, Pelita memutuskan hengkang dari Bumi Bengawan pada tahun 2003.

Tak puas merasakan percintaan sesaat, Pasoepati memuntahkan kekecewaannya dengan mendukung tim lain. Kala itu Persijatim Jakarta Timur gantian berkunjung ke kota Solo, dan menggunakan nama baptis Persijatim Solo FC. Euforia tak lantas hilang di kota Solo, dan Persijatim mampu memuaskan hasrat Pasoepati untuk kembali merasakan itu.

Percintaan Pasoepati dan Persijatim Solo FC juga tak lebih baik dari Pelita Solo. Pada tahun 2006, tim ini hengkang ke Palembang dan berganti nama menjadi Sriwijaya FC hingga kini. Pasoepati merasakan dua kali patah hati, lewat kunjungan singkat tim luar kota. Tak mau kembali merasakan nestapa, Pasoepati memutuskan mendukung pribumi di tanah sendiri Persis Solo, sebagai satu-satunya kultus Pasoepati. Yah, nestapa masih datang bukan karena Persis Solo hengkang, lebih karena prestasi Persis angin-anginan selepas bertengger di kasta teratas 2007 silam.

Selepas Liga Djarum 2007, prestasi Persis memang mengenaskan, jangankan berjaya di liga teratas, untuk menembus 4 besar kasta kedua pun, masih menjadi PR Persis yang belum terselesaikan hingga kini. Bahkan pernah nyaris tenggelam ke kasta ke-tiga. Sebuah ironi dari raksasa Perserikatan. Namun nasib baik memang masih dirasakan Persis, dualisme liga membuat Persis tak jadi turun ke kasta ke-tiga.

Stadion Manahan, destinasi sepak bola Surakarta

Bicara Solo dan euforia sepak bola, memang tak sepenuhnya hilang. Kendati Persis jarang tampil di laga-laga besar, wong Solo tetap kebagian jatah dari hajatan-hajatan besar di Indonesia. Magnet itu berada di Stadion Manahan, sebagai magnet utama destinasi sepak bola Surakarta. Lokasinya yang strategis di tengah kota, lebih lagi posisi kota Solo yang terbilang aman dan netral, menjadikan Manahan sebagai langganan laga-laga besar.

Saya adalah sekian dari penduduk asli (Solo raya) yang turut kecipratan hajatan-hajatan besar itu, meski tak pernah menyertakan tim tuan rumah, Persis. 2006 silam, Final Liga Djarum dilangsungkan di Manahan, saya turut dalam kesedihan tim se-provinsi PSIS ketika tumbang dari Persik Kediri. Yah, dalam gendongan bapak, saya merasakan kepedihan itu. Atau ketika 2011 silam, saya juga larut dalam kemenangan Persiba Bantul saat menumbangkan Persiraja Banda Aceh di Final Liga Ti-phone sambil melempar kaos ke tribun Manahan. Belum lagi laga-laga besar lain, walau tak semuanya saya saksikan langsung.

Bukan hanya destinasi laga besar, tim-tim besar macam Persija Jakarta juga sering menjadikan Solo sebagai destinasinya. Tak terhitung, berapa kali Persija dan The Jakmania nginep di Solo, hingga menjadikan Solo sebagai rumah kedua mereka. Di tengah prestasi Persis Solo yang biasa-biasa saja, wong Solo tetap kecipratan euforia laga-laga besar dan kasta teratas itu melalui magnet Stadion Manahan.Melanjutkan tradisi, pada gelaran Piala Dunia U-20 mendatang, kota Solo dan Manahan kembali menjadi destinasi sepak bola Indonesia.

Pun demikian dengan Bhayangkara FC yang mengikuti jejak Pelita dan Persijatim, menjadikan Solo sebagai destinasinya, kendati Bhayangkara FC mungkin tak akan merasakan percintaan bersama Pasoepati yang kini kultus tunggalnya hanya untuk Persis Solo, walau sudah membaptis diri menjadi Bhayangkara Solo FC. Sebagai destinasi sepak bola, Solo serta keramahannya siap menyambut siapa pun, seperti penggalan chant Pasoepati “Yo ning Solo yen pengin nonton bal-bal-an, suporter’e sopan, tamune dijamin aman.”

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: Pikiran Rakyat