Perjalanan Malala Yousafzai, aktivis pendidikan asal Pakistan, dapat ditelusuri dari berbagai sumber, baik itu visual (buku, artikel, dan lainnya) ataupun audio-visual (film atau rekaman video). Dalam uraian singkat ini, sosok Malala akan coba diteropong lewat sebuah film dokumenter yang disutradarai oleh Davis Guggenheim yang bekerja sama dengan National Geographic Channel.

Film ini tayang perdana pada tahun 2015 dengan tajuk “He Named Me Malala”. Barangkali, para pembaca yang budiman sudah menonton atau mengikuti perjalanan gadis belia pemberani ini. Bagi yang belum mengenal atau hendak mengenal sosok Malala secara rileks dan santai, film tersebut bisa menjadi salah satu koentji.

Malala Yousafzai

Ketika Malala masih berada di dalam rahim ibunya, ayahnya selalu mengatakan atau bercerita tentang “Tappa”, sebuah cerita orang-orang Pashtun (salah satu suku di Pakistan). Cerita tersebut mengisahkan tentang sosok/seorang remaja perempuan yang menjadi pemimpin Afganistan ketika berperang melawan Inggris.

Saat perang, pasukan Afganistan saat itu memilih untuk mundur dari medan tempur. Pada saat yang sama, seorang remaja perempuan kemudian berlari ke atas sebuah bukit lalu berkata “Lebih baik hidup satu hari seperti singa, daripada hidup seperti budak untuk ratusan tahun.”

Kata-kata tersebut ternyata mampu meningkatkan kepercayaan diri para pasukan Afganistan sehingga mengurungkan niat mereka untuk mundur dari peperangan. Singkatnya, gadis yang menyaringkan suaranya di atas bukit tersebut akhirnya gugur di medan perang. Nama gadis itu adalah Malalai.

Ayahnya, Ziauddin Yousafzai, manamai putrinya dengan nama Malala Yousafzai, terinspirasi dari seorang gadis yang dibunuh karena berani untuk bersuara/berbicara lantang. Nama tersebut seakan-akan menyampaikan sebuah pesan tersirat bahwasannya gadis/anak ini (Malala Yousafzai) kelak akan menjadi aktivis yang bersuara lantang membela apa yang diyakininya sebagai kebenaran dan tentu tidak berharap memiliki nasib yang sama dengan gadis yang menjadi inspiratornya itu, yakni dibunuh.

“Ditakuti” Taliban

Ketika Malala berusia 15 tahun, ia sudah dianggap atau bahkan “ditakuti” oleh salah satu kelompok teroris di negaranya, yakni Taliban Pakistan. Taliban Pakistan merupakan eksponen dari kelompok Taliban yang berdiri di Afganistan. Penyematan kata teroris kepada Taliban rasanya tak berlebihan. Merujuk KBBI V, teroris adalah “orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik.”

Masih diusia 15 tahun, Malala juga mengalami suatu tragedi mengerikan yang hal itu tidak pernah terpikirkan oleh sebagian besar masyarakat akan menimpa anak-anak atau remaja. Ia ditembak oleh Talib (sebutan bagi kombatan Taliban) yang mengenai kepala bagian kirinya saat berada di bus sekolah ketika sedang diperjalanan menuju ke rumah. Tentu saja, tembakan itu membuat Malala mengalami luka yang serius di bagian kepalanya bahkan peluru tersebut bersarang di bahunya dan ia dirawat selama berbulan-bulan serta sempat koma.

Kelompok Taliban menyerang dan berusaha membunuh Malala karena ia senantiasa menyuarakan kesetaraan atas hak-hak asasi bagi semua pihak, khusunya anak-anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Hal tersebut bertentangan dengan apa yang diyakini oleh Taliban.

Taliban memandang bahwa pendidikan bagi anak-anak perempuan tidak penting. Oleh karena itu, para perempuan tidak boleh bersekolah. Bahkan, Taliban juga mengahancurkan (mengebom) sekolah-sekolah yang ada di wilayah Pakistan. Tidak hanya melarang dan menghancurkan sekolah-sekolah, Taliban juga melarang orang-orang untuk menonton TV. Dengan kata lain, pendidikan adalah musuh dan ancaman bagi Taliban sehingga mereka berupaya untuk membumihanguskannya.

Pena lebih dahsyat dari pedangMalala Yousafzai

Jadi, film dokumenter “He Named Me Malala” ini mengisahkan pahit getirnya perjuangan Malala. Secara tidak langsung, Taliban telah “berjasa” dalam perjalanan hidup Malala, karena berusaha untuk membunuhnya. Kasus penembakan Malala tersebut mendapat sorotan, dukungan, simpati, dan empati dari berbagai penjuru dunia.

Puncaknya, pada 2014 Malala Yousafzai dianugerahi Nobel Perdamaian dan ia menjadi peraih termuda pengharagaan tersebut sepanjang sejarah. Meminjam istilah Buya Syafii, Malala adalah “oase di bumi Muslim yang tandus.”

Ilustrasi: Wikipedia