Persib Bandung adalah warisan kultural bagi seluruh masyarakat Jawa Barat. Meski secara historis klub ini hanya merepresentasikan Kota Bandung sebagai daerah kelahirannya, namun warga Parahyangan seolah terperangkap dalam kultur ‘Persib-sentris’. Tentu ini hanyalah istilah yang saya bikin sendiri berdasarkan pengalaman saya memperhatikan klub-klub sepak bola di Jawa barat. Persib-sentris ini, secara ironis, membuat banyak klub-klub daerah di Jawa Barat kurang diperhatikan.

Sederhananya, masyarakat Jawa Barat mewarisi semacam kewajiban kultural untuk terus mendukung Persib Bandung, meski mereka sendiri mempunyai banyak klub lokal untuk didukung juga. Namun, walau Jawa Barat mempunyai banyak klub sepak bola dengan historisitas yang beragam, klub-klub ini dianggap sebagai ‘anak’ dari Persib saja. Jika dianalogikan, bagi warga Jabar, mendukung Persib adalah ‘wajib’ dan mendukung klub daerah adalah ‘sunnah’.

Hal ini dapat kita temui melalui slogan-slogan suporter fanatik Persib bernama Viking Persib Club (VPC). VPC didirikan sejak tanggal 17 Juli 1993 oleh  sosok yang sangat terkenal bagi para pendukung Persib, Almarhum Ayi Beutik, Herru Joko, Dodi Rokhidan, hingga Hendra Bule. Sudah berjalan hampir tiga dekade, kini, VPC telah banyak melebarkan sayapnya kemana-mana bahkan hingga ke luar Jawa Barat. Masing-masing VPC di setiap daerah punya slogan masing-masing yang khas dan unik.

VPC Distrik Sumedang Rayon Situraja, misalnya, punya slogan “Baheula, Ayeuna, Pageto Dukung PERSIB”. (Dulu, Sekarang, Besok Dukung PERSIB). Meski mereka punya klub daerah bernama Perses Sumedang, namun jelas sekali bahwa mereka sangat memprioritaskan Persib sebagai klub yang harus mereka dukung di atas klub daerah. Yang lebih nyeleneh ada VPC Cimahi dengan slogan “Untuk Cemburu Pun Aku Tak Berhak”. Meski sekarang PSKC sudah promosi ke Liga 2, eksistensi dari VPC Cimahi tentu tak akan hilang begitu saja (bahkan hampir mustahil).

Persib dan Ketimpangan Klub Bola di Jawa Barat

Dualisme dukungan di tanah parahyangan, menurut saya, tentu dapat dengan mudah kita kenali akarnya; ketimpangan. Setidaknya, dalam skena persepakbolaan Jawa Barat, hanya Persib lah yang mendominasi. Mereka adalah satu-satunya tim di Jawa Barat yang pernah menjadi juara di kasta tertinggi sepak bola Indonesia Berbeda dengan, katakanlah, Jawa Timur, yakni perseteruan Persebaya dengan Arema. Di ‘Derbi Jawa Timur’ ini kedua tim sama-sama memiliki kekuatan (baik dari segi historis, finansial, dan pemain). Baik Persebaya maupun Arema, keduanya, paling tidak, pernah mencicipi gelar juara di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Tak ada ketimpangan yang terlalu menganga.

Kedua suporter dari dua klub ini pun punya stance dukungan yang jelas terlepas mereka adalah bagian dari sesama warga Jawa Timur. Bahkan, tak jarang, Bonek dan Aremania acap kali terlibat dalam aksi tawuran kala Derbi Jawa Timur ini digelar. Di Jawa Barat, meski banyak digelar Derbi Jawa Barat seperti Persib vs. Persikabo, Persib vs. Persikab, Persib Vs. PSKC, atau duel Persib dengan tim asal Jabar lainnya, jarang sekali saya melihat ada duel yang intens antar suporter laiknya Bonek dan Aremania. Hal ini, menurut saya, disebabkan karena tak ada tim asal Jabar lain yang mampu mengimbangi Persib.

Dampak dari ketimpangan antara Persib dan klub Jawa Barat lain, syukurnya, tidak sampai membuat banyak suporter dari klub lokal di Jawa Barat lain merasa iri hati melihat prestasi dari Persib yang segudang. Berbeda dengan, sebut saja suporter dari Persitara Jakarta Utara yang merasa selalu dianak tirikan dari Persija Jakarta yang kerap di anak emaskan oleh Pemprov DKI Jakarta. NJ Mania (sebutan suporter Persitara) bahkan sempat marah kala peresmian Jakarta International Stadium oleh Anies Baswedan karena merasa tersingkirkan di stadion baru itu meski terletak di Jakarta Utara.

Bertentangan dengan Persitara, suporter dari klub Jawa Barat lain selain Persib merasa biasa-biasa saja melihat fenomena Persib-sentris di Jawa barat ini. Sikap ‘biasa-biasa’ ini tentu baik namun juga buruk pada sisi lain. Baiknya, tak akan ada konflik antar suporter di Jawa Barat karena mereka sudah lebih dulu dipersatukan oleh nama “Persib”. Buruknya, identitas-identitas klub lokal ini tentu akan kurang diperhatikan karena kurangnya ‘dukungan-dukungan’ (baik dari segi finansial maupun sponsor) yang bisa membuat klub ini sama besarnya dengan Persib.

Penyunting: Halimah
Sumbr gambar: Ayobandung.com