Jauh sebelum issue kesehatan mental muncul dipermukaan, masyarakat cenderung acuh dan mengabaikan kesehatan mental mereka. Namun, maraknya issue kesehatan mental akhir-akhir ini memicu masyarakat sadar untuk mencari tau lebih lanjut dan peduli akan kesehatan mental itu sendiri.

Tapi ternyata sadar saja tidak cukup untuk membuat kita berani memvalidasi suatu masalah dan mencari bantuan, sebab minimnya informasi dan edukasi terkait kesehatan mental nyata kita rasakan. 

Sebagai makhluk sosial, seringkali langkah pertama yang kita lakukan ketika berhadapan dengan masalah adalah bercerita, entah itu dengan teman, sahabat ataupun keluarga. Karena dari bercerita kita dapat meluapkan segala rasa yang memenuhi ruang perasaan kita, semua keganjalan yang kita pendam. 

Dalam hal ini kita memiliki dua posisi, yaitu pihak yang bercerita atau pihak pendengar, karena pada intinya tetap saja kita saling membutuhkan. Namun sobat, yang perlu kita garis bawahi berada pada posisi manapun, me-management emosi dan mengatur porsi empati sangatlah penting!

Emotional Sponge

    Sobat, kenapa me-management emosi dan mengatur porsi empati menjadi hal yang urgent untuk kita perhatikan? Sebab, ketika kita menjadi pihak pendengar kita akan sangat rentan untuk merasakan apa yang lawan bicara kita ceritakan, dan hal ini mungkin tidak menjadi masalah jika bersifat positif, bagaimana jika hal ini justru mengarah pada hal negatif?

    Pribadi yang berlebihan dan tidak tentu dalam mengatur emosi akan menjadi selayaknya busa yang menyerap segala cairan disekitar. Nah, hal inilah yang disebut dengan Emotional Sponge.

    Misalnya kita mudah merasa bersalah, merasa bertanggungjawab atas perasaan orang lain, serta memiliki empati yang tinggi. Pasalnya, orang yang memiliki rasa empati terlalu tinggi akan menjadi tempat yang nyaman untuk berbagi dan mudah untuk diajak berkomunikasi.

    Oleh karena itu, dibalik rasa nyaman yang menyertai, seorang emotional sponge akan cenderung merasa kewalahan karena ikut menyerap emosi orang lain.

Dari keterangan tersebut, terlintaskah presepsi bahwa emotional sponge adalah kondisi yang membahayakan diri? Terlebih jika hanya energi negatif yang diserap, lantas apa kabar kesehatan mental kita?

Langkah Menghindari

Ada beberapa cara agar kita terhindar dari emotional sponge, diantaranya:

Pertama, self-love. Sudah bukan hal baru lagi ketika kita mendengar self-love, ternyata dalam kasus ini self-love menjadi salah satu langkah untuk menghindari emotional sponge. Sediakanlah waktu untuk sendirian, kita membutuhkan me-time agar dapat mengurangi tekanan emosional dalam diri, jangan terlalu sering memikirkan orang lain!

Kedua, pahami batasan emosi. Perlu kita tau sobat, ternyata beban perasaan yang dirasakan oleh pemiliki emotional sponge tidak selamanya menghadirkan dampak negatif. Bisa menjadi hal positif apabila kita mampu mengendalikan emosi kita, seperti penegasan diatas bahwa me-management emosi dan mengatur porsi empati memiliki urgensi yang begitu tinggi.

Ketiga, kontrol kepekaan. Coba tanamkan mindset bahwa ikut terbawa emosi orang lain sama saja seperti memberi gizi buruk untuk mental kita. Beranilah mengatakan “tidak” pada hal-hal yang sebetulnya berat untuk kita lakukan.

    Nah, itu beberapa langkah yang bisa kita coba!

    Memiliki kepekaan yang tinggi memang bukan suatu kesalahan, dengan catatan kita mampu mengendalikannya. Maka mari berusaha agar “spons” yang kita miliki bisa membawa dampak postif bagi diri sendiri maupun orang lain, misalnya dengan lebih menghargai diri, peka terhadap beragam emosi dan menjadi pendengar yang baik.

    Hal tersebut bisa dicapai ketika kita sudah benar-benar mampu me-management emosi!

Editor: Saa

Gambar: Pexels