Cobalah sesekali memperhatikan banyak sisa makanan di piring makanan di meja restoran atau pun acara hajatan. Makanan yang diambil lalu ditinggalkan. Mungkin itu pemandangan yang sudah sangat biasa kita saksikan sampai tak terasa aneh lagi. Apalagi ada ungkapan bagi empunya hajat mending lebih daripada kurang, karena bisa bikin malu.
Tapi pernah kepikiran gak kemana perginya sisa makanan itu? Jawabnya kemungkinan besar tertimbun di tempat sampah. Terbuang sia-sia bersama seluruh sumber daya yang digunakan untuk menanam, merawat, memanen, mengangkut, menyimpan dan mengolahnya menjadi makanan. Miris.
Sampah makanan adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak konsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang karena rusak. Umumnya, alasan membuang makanan sisa karena makanan tersebut memang rusak, jumlahnya terlalu banyak, atau tidak suka dengan cita rasanya. Membuang kelebihan makanan tidak membuat kita merasa bersalah, justru lega karena telah menyingkirkan sampah. Padahal dibalik itu semua ada masalah serius yang mengancam.
Masalah serius yang tidak disadari
Ini bukan masalah baru tetapi terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) bersama sejumlah lembaga, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton/tahun pada periode 2000-2019 atau setara dengan 115-184 kg/kapita/tahun. Kerugian ekonomi yang timbul sebesar Rp 213 – 551 triliun/tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia per tahun!
Yang lebih memprihatinkan secara sosial, kehilangan ini setara dengan kandungan energi untuk porsi makan 61-125 juta orang/tahun. Ironisnya di negara kita ini juga masih banyak terdapat penduduk yang kurang pangan bahkan bayi penderita stunting. Data BPS tahun 2022 menunjukkan ada 4,85 persen penduduk Indonesia dalam kondisi rawan pangan. Juga ada 21,6 persen bayi dalam kondisi stunting.
Idealnya ada suatu sistem yang dapat mengatur kelebihan makanan di satu pihak untuk dapat tersalur ke pihak lain yang membutuhkan, sehingga sampah makanan dapat ditekan jumlahnya. Juga harus ada acara untuk memperpanjang masa simpan bahan makanan. Ataupun menunda untuk langsung membuang ke tempat sampah dengan memanfaatkan terlebih dahulu sisa makanan dengan lebih baik. Karena tumpukan sampah makanan dapat menimbulkan gas metana yang berbahaya untuk lingkungan.
Sampah makanan menghasilkan gas metana yang lebih berbahaya dari CO2 atau karbondioksida. Penumpukan gas metana berpotensi memicu terjadinya ledakan. Gas metana yang dihasilkan oleh 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang timbul dari 5,45 juta mobil dalam setahun. Sebagai perbandingan, jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 ‘hanyalah’ sekitar 3,3 juta unit.
Ayo lakukan yang kita bisa
Lalu, bisa gak kita berperan turut menurunkan angka-angka tersebut? Jawabnya bisa. Mulai lakukan tindakan mudah yang dapat kita kerjakan di rumah dan dari diri sendiri untuk mencegah peningkatan sampah makanan. Apa saja?
Tindakan paling sederhana dalam mengurangi pembuangan sisa makanan dapat kita lakukan mulai dari memperhitungkan jumlah makanan untuk konsumsi. Misalnya untuk sarapan pagi di rumah, buatlah porsi makanan yang sesuai kebutuhan anggota keluarga dan dapat habis dalam sekali makan. Porsi tersebut juga harus mengacu pada rata-rata kebutuhan gizi seimbang.
Selain itu upayakan selalu membawa wadah makanan untuk menyimpan kelebihan makanan saat di restoran atau tempat makan. Sebelum mulai bersantap, sisihkan dulu sebagian makanan yang kira-kira tidak dapat langsung kita habiskan saat itu.
Makanan tersebut dapat kita bawa pulang dan simpan di kulkas, sebagai persediaan makanan siap saji. Atau bisa juga kita berikan kepada yang membutuhkan saat perjalanan pulang sebagai bentuk kepedulian pada sesama. Hal ini jadi lebih memungkinkan, karena kita memberikan bukan makanan sisa, tetapi makanan yang kita sisihkan sejak awal sehingga penampilannya masih cukup baik.
Sebaiknya kita tidak juga berlebihan dalam menimbun makanan. Setiap makanan baik segar maupun olahan punya batas waktu simpan. Semakin lama disimpan ada peluang semakin menurun kualitas makanan tersebut jika tidak segera dikonsumsi.
Berlebihan menimbun stok atau cadangan makanan, membuat kita kewalahan untuk menghabiskan dalam waktu simpan yang ideal. Akhirnya bahan makanan rusak dan terbuang percuma.
Menurut data Bappenas (2022) jenis sampah makanan terbanyak adalah sayuran (31 persen), nasi (20 persen) daging (11 persen), produk susu (10 persen) dan ikan (10 persen). Jika terdapat sisa makanan maka usahakan mengolahnya menjadi jenis makanan lain daripada langsung membuangnya.
Ada banyak resep yang bisa kita temukan di internet untuk memanfaatkan sisa makanan yang masih baik. Dari nasi sisa selain kita olah menjadi nasi goreng, cireng sampai krupuk, bahkan juga bisa menjadi kudapan mewah seperti puding nasi. Sisa lalapan menjadi bahan untuk acar juga smoothies sayuran. Sisa daging dan ikan dapat menjadi bahan abon dan isian arem-arem.
Terakhir, jika masih terdapat sampah makanan yang tidak dapat diolah lagi untuk dimakan, manfaatkanlah menjadi barang bernilai guna. Dengan konsep dari alam kembalikan ke alam dengan kebaikan, mulailah memilah dan mengolah sampah harian. Supaya hal ini dapat mudah kita lakukan, maka siapkan terlebih dahulu wadahnya. Tidak harus yang baru, tapi cukup manfaatkan barang yang ada misalnya ember bekas cat atau karung beras.
Sampah apa yang bisa kita olah untuk kembali ke alam?
Nasi basi bersama air cucian beras, gula dan terasi kemudian difermentasi dapat menjadi MOL (mikroorganisme lokal) yang bermanfaat sebagai starter dalam penguraian bahan organik menjadi pupuk organik padat maupun cair. Demikian juga buah-buahan seperti pisang dan pepaya yang sudah membusuk dapat dibuat MOL dengan cara yang sama.
Sisa potongan dan kulit sayur atau buah, masukkan ke dalam tempat tertutup lalu tambahkan sedikit tanah dan MOL, dapat berubah menjadi kompos. Kompos kita gunakan untuk menyuburkan tanaman di halaman.
Potongan buah dan kulitnya yang tidak dimakan dapat kita fermentasi dalam wadah tertutup dapat menjadi cairan eco-enzym. yang bisa memberikan manfaat positif lebih besar bagi lingkungan. Eco-enzym sebagai cairan pembersih serbaguna seperti deterjen pakaian, cairan pembersih toilet, bahan hand sanitizer, dan masih banyak lagi. Selain itu zat ini juga mampu meningkatkan kualitas udara dengan membersihkannya dari racun, polusi, dan bau sebagai air purifier.
Demikian cara-cara mudah yang dapat kita lakukan di rumah untuk turut mencegah meningkatnya sampah makanan. Tinggalkan jejak kebaikan untuk kehidupan. Bumi yang kita tinggali hanya ada satu dan akan menjadi warisan bagi generasi berikutnya. Semua kebaikan yang kita lakukan, akan kembali kepada kita.
Mulai sekarang, saat kamu mengisi piringmu, ingatlah selalu : Ambil, Makan, dan Habiskan.
Comments