Sepakat atau tidak, kehidupan adalah salah satu hal yang (sangat) wajib disyukuri. Sebab, dengan kehidupan kita bisa mengenal cinta dan kasih sayang. Di sisi lain, kehidupan juga diwarnai oleh berbagai hal, seperti cobaan, patah hati, atau kelelahan, dan bahkan kesuksesan yang tertunda.
Memang seperti itulah kehidupan, layaknya yang dianalogikan oleh para motivator dengan roda yang berputar, jalan yang kadang tak mulus, roller coaster, dan sejenisnya. Semuanya mengarah pada ungkapan “Tak selamanya kita di bawah dan tak selamanya kita di atas.”
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita sebagai manusia untuk berjuang. Tiap orang tentu berbeda-beda metode perjuangannya, ada yang menggunakan kerja keras, uang, atau orang dalam. Manusia yang enggan untuk berjuang itu ibarat batu―di mana ketika ia dilempar ke atas, ia akan segera kembali ke bawah karena hukum alam. Itu sunnatullah bagi batu, sunnatullah bagi manusia tentu berbeda. Hal tersebut disebabkan, karena manusia memiliki akal yang tak dimiliki oleh batu serta ciptaan-ciptaan yang lain.
Manusia memiliki nalar pikir, memiliki kemampuan untuk memilah mana yang baik dan buruk. Inilah salah satu alasan mengapa manusia dianugerahi ujian dari-Nya, dan manusia harus berjuang agar lulus melewatinya.
Mindset Kesuksesan
Lantas, ketika ditanya, “Mengapa kamu berjuang?” Bagaimanakah jawabannya? Mayoritas orang tidak akan menjawab bahwa berjuang adalah fitrah manusia. Mereka―termasuk kita―kebanyakan akan menjawab, “Agar saya bisa menjadi orang sukses.” Bicara soal sukses, sebenarnya sukses itu apa sih? Dalam KBBI, kata ‘sukses’ bermakna berhasil; beruntung.Akan tetapi, benarkah definisinya sesederhana itu?
Masing-masing orang mengartikan sukses berbeda-beda. Sukses itu punya uang banyak, sukses itu punya jabatan tinggi, sukses itu punya rumah dan mobil mewah, serta segelintir definisi lainnya. Namun, perlu diketahui bahwa semua definisi sukses tersebut sebenarnya hanya kalimat lain dari keinginan manusia masing-masing. Artinya, definisi-definisi tersebut masih bersifat subjektif. Lantas, apa sebenarnya sukses itu? Adakah definisi sukses yang tak hanya mewakili satu orang melainkan mewakili semua orang?
Joh Holt dalam bukunya yang berjudul Mengapa Siswa Gagal? menuliskan bahwa sukses itu menyiratkan keberhasilan seseorang mengatasi rintangan―termasuk mungkin ‘rasa pesimis’. Sukses berarti keberhasilan mengubah “Saya tak bisa” menjadi “Saya bisa dan telah melakukannya.” Mari sedikit bernostalgia! Saat dulu kita belajar naik sepeda, tentunya kita pernah jatuh (bahkan berkali-kali). Waktu itu kita bukan berpikir, “Aku gagal lagi”, tetapi kita berpikir, “Masih belum berhasil, ayo coba lagi!”.
Lalu, ketika telah berhasil (lancar) menaiki sepeda, kita tak berpikir, “Wah, aku berhasil!”, melainkan, “Hore! Aku bisa naik sepeda.” Artinya apa? Kegembiraan yang muncul itu berasal dari kegiatan (naik sepeda) itu sendiri, bukan dari ide tertentu pasal kesuksesan. Sebenarnya tak ada garis pemisah yang jelas antara ‘sukses’ dan ‘gagal’. Kita yang belajar naik sepeda (saat kecil) tak pernah memikirkan tentang kesuksesan atau kegagalan. Kita hanya fokus pada usaha dan petualangan kita.
***
Masalah kemudian muncul ketika orang-orang di sekitar kita (khususnya orang dewasa) memaksa kita berpikir―baik itu secara langsung maupun tidak langsung―bahwa memuaskan mereka adalah hal yang paling penting. Akibat hal tersebut, kita sering berpikir bahwa kesuksesan adalah keberhasilan kita memuaskan mereka dan kegagalan adalah ketidakmampuan kita memuaskan mereka. Hal tersebut juga membuat kita menyukai keberhasilan di satu sisi dan takut akan kegagalan di sisi yang lain (dalam waktu yang bersamaan). Inilah yang mengalihkan fokus kita dari menyukai kegiatan kepada memuaskan orang lain.
Hal itu tentu salah dan (sayangnya) sudah telanjur. Oleh sebab itu, mari kita berusaha memperbaiki mindset serta sikap kita terhadap anak-anak yang sedang berusaha mengeksplorasi dunianya. Yaitu, dengan cara tidak memaksa mereka berpikir bahwa memuaskan orang kita (orang dewasa) adalah hal yang paling penting. Tujuannya adalah supaya anak-anak kita nanti tak menjadi korban dari kesalahan pengenalan definisi kesuksesan (akibat mindset yang kita tanam kepada mereka) dan supaya mereka lebih fokus pada “menyukai kegiatan yang sedang mereka lakukan.”
Editor: Nirwansyah
Comments