Mencuci adalah kegiatan membersihkan, setidaknya begitulah pengertian singkatnya, dengan tujuan agar objek yang dicuci menjadi bersih. Kegiatan mencuci sebetulnya adalah kegiatan paling purba yang dilakukan oleh segala macam makhluk hayati.

Manusia dari sejak kelahirannya telah dicuci atau dibersihkan. Ia akan dimandikan oleh ibunya dengan penuh hati-hati dan kasih sayang, seperti pada potongan lirik puisi D. Zawawi Imron, yang berjudul “Ibu”, /Bila kasihmu ibarat samudera,/ sempit lautan teduh / tempatku mandi, mencuci lumut pada diri,/ tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh, lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku.

Kata mencuci pada sajak itu, bukan tidak sengaja dipilih sebagai diksi oleh penyairnya. Tetapi, dengan sadar si penyair menganggap bahwa ibulah yang membersihkan atau membuat kita bersih bila bernaung pada kasihnya, baik secara fisik maupun mental. Dengan kata lain, ritual membersihkan sangat berarti dalam keseharian kehidupan manusia.

Tak kalah penting, binatang pun suka membersihkan diri. Sering kita lihat kucing di komplek atau di depan rumah, sambil duduk, ia akan mencuci kotoran di tubuh dengan lidahnya, ayam mandi debu, dan burung mengibas-ibaskan sebagian tubuhnya ketika menyentuh air sungai. Mungkinkah memang Tuhan menciptakan kotoran agar kita selalu ingat untuk kembali pada kebersihan?

Mungkin saja kita dapat menganggapnya demikian. Sebab, bukankah Tuhan juga menciptakan peristiwa bulan suci ramadhan? Artinya bulan yang bersih, steril dari godaan setan, nafsu, dan ambisi-ambisi? Kita dipaksa untuk ngerem, kembali pada fitri, pada asali kita; yang bersih.

Dalam islam bahkan ada adagium populer, yakni, annadhofatu minal iman, “kebersihan adalah sebagian dari iman”. Adagium ini boleh jadi diasumsikan sebagai penanda bahwa kebersihan setidaknya memiliki nilai filosofis yang cukup berarti. Sekurang-kurangnya, kebersihan memiliki nilai religius tersendiri. Hal ini dapat dimengerti karena kebersihan mengandung hal-hal baik, untuk sekedar menyebut beberapa; dalam kebersihan dapat ditilik nilai-nilai yang semua orang pasti setuju untuk menganggapnya baik, seperti nilai estetik, good vibes, dan mengandung kejernihan. Bahkan, konon, nabi Muhammad SAW sangat suka pada kebersihan dan bau wangi.

Sebagaimana yang tercermin dalam hadist, “siapapun yang mandi pada hari Jumat dan membersihkan diri sebanyak yang dia bisa dan mengoleskan minyak (pada rambutnya) atau mengharumkan dirinya sendiri dan kemudian melanjutkan untuk shalat, maka semua dosanya di antara hari ini dan hari Jumat terakhir akan diampuni,” (Al-Bukhari).  Dari kutipan tersebut, dapat ditarik intisarinya bahwa kebersihan memang perlu mendapat perhatian, justru dengan menjaga kebersihan, kita tidak hanya mendapat kesehatan secara jasmani, melainkan juga mendapat eskalasi nilai ibadah. 

Di dunia sains  pun, bila ditelisik lebih lanjut, juga santer menyorot pentingnya kebersihan. Hari Cuci Tangan Sedunia merupakan salah satu contohnya. Hari Cuci Tangan Sedunia diperingati sejak 2008, setiap tanggal 15 Oktober. Seperti dilansir dari CNN Indonesia (15/10/20) yang mengutip laman Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), pihak mereka menyatakan bahwa peringatan hari cuci tangan sedunia tersebut berguna untuk menyerukan pentingnya praktik membersihkan tangan untuk menangkal kuman dan infeksi penyakit. Kendati kegiatannya sederhana, namun dampaknya luar biasa. Pencegahan dengan cara cuci tangan adalah metode yang efektif dan efisien untuk menangkal segala penyakit. 

Sekarang, kita mendapati diri kita berada di tengah-tengah kepungan virus Corona yang tengah merajalela menghambat pekerjaan. Di samping, ada virus-virus negatif lainnya dalam diri yang sama bahayanya, sebut saja beberapa ciri; sifat iri, dengki, dendam, dan lain-lain. Yang semuanya bermula dari hidup tidak bersih. Sehingga, patutlah kita bertanya, sudahkah kita membersihkan diri sendiri? Bila sudah apa buktinya, bila belum kapan kita akan memulainya?

Begitu.