Bagi orang-orang yang mendengar Serat Centhini secara parsial atau asal tahu saja, maka pasti terlintas tulisan kuno itu hanya sebatas berisi pembahasan seksualitas masyarakat Jawa pada masa lalu.

Alangkah ruginya orang-orang yang tak mau membaca Serat Centhini secara menyeluruh dan mengambil kepuasan sementara dari pengetahuan bahwa buku itu hanya memuat hal-hal intim terkait hubungan laki-laki dan perempuan saja. Rugi dan sesat pikiran jika menyepelekan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Suluk Tembangraras, atau yang sering disebut Serat Centhini ini lahir pada awal abad ke-19. Meski kekuasaannya hanya sebentar (1820-1823), setidaknya Sri Susuhan Pakubuwana V atau nama gelar Pangeran Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta dari Keraton Surakarya Hadiningrat itu, telah membuat gagasan dan pemikiran tentang tulisan ini.

Bahwa ketiga pujangga Keraton Surakarta yakni Ki Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara dan Ki Ngabehi Sastradipura inilah yang ditunjuk untuk ikut mennyempurnakan naskah tersebut. Dengan menghasilkan 12 jilid dan selalu menjadi bacaan dan kajian hingga masa kini, kiranya tulisan tersebut telah menunjukkan kelasnya sebagai karya sastra hinga ratusan tahun lamanya.

Sunan Giri dan Mataram

Setidaknya tulisan dalam novel Serat Centhini karya Sunardian Wirodono ini sudah saya baca secara lengkap, kemudian saya menyimpulkan sebuah kejadian di kepala saya bahwa di suatu masa sekitar tahun 1615, Sultan Agung Anyakrakusuma dengan kecemasan dan ketidakpuasan sedang menuntut dirinya sendiri, mengapa dengan tentara dan wilayahnya yang kuat, masih ada satu wilayah yang belum ia taklukan yaitu wilayah Giri (sekarang, Gresik) yang sedang dipimpin oleh Sunan giri (Keturunan Sunan Giri, Walisongo).

Singkat cerita dari Giri sana, Sunan Giri sudah meramalkan kejadian ini dari buyutnya, Sunan Giri (Walisongo) dimana Mataram suatu hari akan melakukan penyerangan ke Giri. Ia sebagai pemimpin sekaligus keturunan salah satu Walisongo tak mau berdiam begitu saja melihat wilayah buyutnya yang mulia hendak diserang oleh mataram.

Sehingga dari dalam kerajaan pula, anaknya bernama Endrasena melakukan provokasi agar Giri meladeni peperangan, bahwa Endrasna juga telah memiliki 250 pasukan terlatih yang dia bawa dari China.

Di sana, Kerajaan Giri terdapat pula tiga anak Sunan Giri yang akan menjadi tokoh utama dari adanya tulisan Serat Centhini ini, nama tiga anak ini yaitu Jayengrsmi, Jayengsari dan Rencangkapti. Meski ketiga anaknya tak menghendaki peperangan sebab akan mengorbankan banyak nyawa, Sunan Giri yang terprovokasi Endrasena akhirnya meladeni Mataram dengan peperangan besar.

Mataram yang berbondong-bondong dengan pasukan dan wilayah yang besar datang dipimpin oleh Raden Pekik dari Surabaya dan istrinya, Ratu Pandansari, adik Sultan Agung berangkat untuk menyerang Kerajaan Giri. Peperangan tak dapat dihindarkan, meski pada awalnya pasukan Giri mempu menguasai peperangan dan memukul mudur Mataram, akan tetapi setelah Endrasena tewas, Giri melemah dan akhirya berhasil ditaklulkkan. Di dalam kerajaan Sunan Giri ditangkap dan dibawa ke Mataram dengan baik dan sopan, sementara ketiga anaknya melarikan diri, mengembara. Kisah dimulai.

Jayengresmi, sang kakak mencari kedua adiknya, Jayengsari dan Rancangkapti yang melarikan diri lebih dulu. Dari perjalanan itulah Jayengresmi menimba ilmu kehidupan, ditemani santri Giri bernama Gathak dan Gathuk, mereka bertiga menjadi orang berbudi luhur pada akhirnya.

Di tempat pesantren terakhirnya di Banten, Jayengresmi kembali merantau untuk mencari kedua adiknya bersama Gathak dan Gathuk, namun mereka yang telah tinggi ilmunya telah berganti nama. Jayengresmi menjadi Syekh Amongraga, Gathak dan Gathuk berubah nama menjadi Jamal dan Jamil. Nama yang sesuai dengan ilmu dan pribadi baru mereka.

Syahdan, tibalah mereka di Desa Wanamarta, tempat anak tokoh desa bernama Tembangraras yang cantik menikah dengan Syekh Amongraga di sana. Pernikahan dalam budaya Jawa tempo dulu memiliki setidaknya empat tahap, yaitu panggih (pertemuan pengantin), pahargyan (resepsi), sepasaran (5 hari setelah ijab qabul) dan boyongan (pindah rumah).

Namun demikian Nyi Malarsih, Ibu Tembangraras meminta Centhini (pembantu) yang terkenal sebagai nama serat ini untuk mengintip sang pengantin, apakah sudah berhubungan suami istri dan menanamkan bibit bayi di rahim Temabangraras, anaknya Sebab akan ada syukuran dan selamatan setelah itu.

Memaknai Seksualitas

Bagi masyarakat Jawa, dan diterangkan di buku Serat Centhini tentunya. Hubungan suami istri bukanlah hal porno, tabu atau tak layak diketahui umum. Sebaliknya, masyarakat amat penasaran diceritakan dalam buku itu karena memang dalam proses persetubuhan yang digambarkan di buku itulah, peradaban manusia terjadi. Bahwa hal-hal demikian amatlah sakral dan memiliki falsafah bagi regenerasi kehidupan manusia, kepentingan untuk melahirkan calon manusia-manusia unggul, dan suatu bentuk syukur pada Sang Hyang.

Penggambaran tokoh dan latar sangat imajinatif, budaya sosial yang ditampilkan di buku ini secara instrinsik menyinggung orang-orang modern yang terkekang dalam istilah, bahasa dan asumsi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri.

Masyarakat terbaru kurang mengetahui makna sesuatu, sehingga menilai sesuatu selalu secara administratif dan tekstual, tak mampu menjangkau sesuatu lebih dalam. Budaya-budaya dan pengertian falsafah demikianlah yang harusnya perlu dikaji di masa terkikisnya pengetahuan sejarah akhir-akhir ini.

Dilanjutkan cerita itu bahwa selama 39 hari secara percuma, Centhini menunggu di luar kamar Tembangraras majikannya untuk mendengar tanda-tanda hubungan intim antara Tembangraras dan keturunnan Sunan Giri, Syekh Amongraga itu dan melaporkannya ke Nyi Malarsih. Di malam-malam itu Syekh Amongraga memang tak tidur, melainkan mengajarkan ilmu-ilmu agama ke istrinya, ilmu kebijakan dan mengenal Tuhan.

Secara tidak langsung, Centhini pun mendengarnya. Dalam penyampaian itu nasihat, tutur, tembang dan sastra lain dimainkan dalam cerita dilakukan secara menyeluruh dalam tokohnya. Baik di dalam kamar itu, Centhini sendiri atau masyarakat yang sedang berantusias mendapat tamu seorang pintar bernama Syekh Amongraga yang mengajari masyarakat Wanamarta ilmu tentang agama dan mengenal Tuhan.

Editor : Hiz