Membaca sebuah utas di Twitter, mengingatkan saya pada perkataan ibu, “Membesarkannya (anak) saja susah, apalagi sambil mendidiknya dengan baik.”

Utas akun Twitter @ErsaTriWahyuni bercerita tentang kisah sebuah keluarga dengan tiga anak yang berkehidupan baik berkat kecerdasan ibu dalam mendidik. Setidaknya begitu persepsi yang ingin dibangun oleh Bu Ersa kepada pembaca. Romantis.

Utas yang dulu sempat ramai ini, di-retweet sebanyak 14,6k, dengan reply sebanyak  400 dan like 23,9k kali. Dan, seminggu lalu sempat ramai kembali di Facebook.

Utas yang panjang itu diakhiri dengan sebuah kesimpulan, “Sebagai orang tua fokuslah pada kelebihan-kelebihan anak bukan pada kekurangannya. Banggakanlah mereka di depan siapapun. Mereka akan menjadi pribadi yang bahagia, percaya diri, bangga pada capaian-capaian hidup sekecil apa pun.”

Tentu ini luar biasa. Hampir semua warganet merespons positif utas itu. Hampir nggak ada sama sekali yang memberi kritik. Mungkin kalau sampai ada satu kritik saja, bakal diserang habis sama ribuan pengikut dosen akuntansi tersebut.

Komentar-komentar positif dari warganet Twitter dan Facebook, seperti:

“Terima kasih sudah mengubah mindset saya tentang mendidik anak.. ternyata selama ini saya yang banyak salah kepada anak saya..”

“Buat orang tua di luar sana yang cara ngedidik anaknya seperti ini, kalian luar biasa.”

“Semoga kelak bisa menjadi mamah yang seperti itu aamiin.”

“Terima kasih Bu atas ceritanya, ini akan jadi pengingat buat saya yang sedang punya anak kecil untuk mendidik dia dengan baik.”

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Tampaknya memang begitu romantis apa yang dituliskan Bu Ersa sehingga membuat warganet terpesona. Dengan pola pengasuhan yang seperti, akhirnya yang terjadi adalah anak tumbuh dengan sangat baik, katanya. Meski terkesan romantis, hal ini jelas sekali buta dengan realitas. Terlalu menggeneralisasi.

Jelas sekali bahwa warganet belum begitu menyadari dampak negatif dari sisi psikologis anak akibat pola pengasuhan yang seperti itu.

Belajar dari Kisah Nam Do-san

Bandingkan misalnya dengan kisah Nam Do-san dalam drama “Start Up”. Genius matematika yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Kepada saudara dan tetangga, di mana-mana Do-san selalu dibanggakan kedua orang tuanya.

Jelas saja Do-san bahagia, bisa membuat kedua orang tuanya bangga dengan kecerdasannya. Tapi di sini lain Do-san juga harus menanggung beban berat “mahkota kebanggaan”.

Menjadi kebanggaan keluarga membuat Do-san harus terus berpura-pura hebat, dan baik-baik saja. Dia harus menyembunyikan banyak hal karena takut mengecewakan. Dia pun mengaku hidup menjadi kebanggaan seseorang adalah hal sulit. Maka jangan saling membanggakan.

Karena beban menjadi kebanggaan, dalam suatu kesempatan, akhirnya membuat Do-san melakukan kecurangan untuk tetap jadi kebanggaan. Dia menyontek ketika mengikuti Olimpiade matematika tingkat SMA, padahal dia anak SMP. Karena kecurangan itu, Do-san mendapat juara 1. Dia tidak tampak bahagia sama sekali, karena nggak sportif. Dia merasa tak pantas menjadi juara.

Kecurangan yang sekali itu akhirnya berpengaruh pada hidup Do-san ke depan. kepercayaan diri Do-san runtuh. Sembilan jawaban soal Olimpiade matematika yang dia kerjakan dengan kemampuannya, menjadi sia-sia, karena menyontek satu jawaban saja.

Dengan kecerdasan itu akhirnya Do-san berkesempatan untuk berkuliah, karena akselerasi 6 tahun. Tapi lagi-lagi dia tidak percaya diri, dan akhirnya mengundurkan diri dari kampus dan memilih kembali ke SMP.

Terlalu Sering Membanggakan Berpotensi Jadi Beban

Ketidakpercayaan diri ini pun dibawa sampai Do-san dewasa. Suatu malam, Do-san yang sedang berkencan dengan Dal-mi, menikmati pemandangan bulan dan bintang-bintang, akibat salah jalan.

Kepada Dal-mi, Nam Do-san mengatakan, “ Aku bukan putra yang baik. Aku merasa bersalah selalu mengecewakan mereka.”

“Kau mau menjadi bulan yang bersinar terang, tapi nyatanya kau bintang kecil seperti debu, begitukah?” jawab Dal-mi.

Do-san mengamini itu.

Dialog tersebut jelas sekali menggambarkan ketidakpercayaan diri Do-san. Selain juga beban berat yang harus ditanggung Do-san karena ingin selalu menjadi kebanggaan.

Dari sini jelas, mengasuh anak dengan selalu membanggakan setiap kelebihannya juga nggak begitu baik, apalagi ditambah dengan mengabaikan kekurangannya. Karena itu juga akan membebani anak untuk tumbuh.

Sepertinya baik Bu Ersa Tri Wahyuni maupun para penggemar, perlu banget belajar dari pengalaman Nam Do-san. Minimal sebagai pertimbangan untuk memikirkan kembali bagaimana sebaiknya mendidik anak.

Saya sebagai anak, ingin menyampaikan kepada para orang tua, yang mungkin ini mewakili anak-anak lainnya: Kami hanya ingin menjadi anak ayah dan ibu. Nggak perlu saling membanggakan satu sama lain. Biarkan kami tumbuh baik dengan cara kami. Itu saja.