Bicara soal definisi “orang kuat”, nampaknya ada banyak persepsi yang tak sama. Misalnya, orang yang dikatakan kuat sering diasosiasikan terhadap mereka yang berotot, mampu mengangkat kapal Titanic beban yang sangat berat, mengupas durian dan kelapa dengan gigi, hingga membengkokkan linggis (juga) dengan gigi, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Akan tetapi, bagaimana tentang menangis?

Dari hal tersebut, bisa dikatakan bahwa definisi “orang kuat” itu sifatnya umum. Artinya, bila ada orang yang berucap, “Dia itu orang yang kuat”, pasti akan ada respon pertanyaan, “Kuat dalam hal apa?”

Beberapa definisi “orang kuat” yang telah disebutkan di atas merupakan perwakilan dari pemahaman tentang orang kuat dalam segi fisik. Bila kita bicara soal sehat, kita semua pasti tahu ada sehat fisik dan juga sehat psikis. Sama halnya dengan perkara kuat, ada kuat fisik, ada juga kuat psikis.

Tentang kuat fisik, barangkali sudah tak perlu dipertanyakan. Karena, banyak bukti yang bisa kita lihat dengan kasat mata terkait kuat secara fisik. Lantas, bagaimana dengan kuat psikis yang tak nampak jelas di depan mata? Apakah persepsi kita tentangnya sesuara?

Orang Menangis itu Lemah?

Melihat semua kejadian yang terjadi, baik dulu maupun sekarang, sepertinya orang yang menangis dicap sebagai orang lemah. Hipotesisnya, penyebab dari hal tersebut, yakni (mungkin) menangis identik dengan anak kecil. Sehingga, apabila ada orang―yang umurnya tak bisa dikatakan lagi sebagai anak kecil―menangis, ia akan dianggap seperti anak kecil (yang lemah).

Akibat dari hal ini, banyak orang yang malu untuk menangis. Mereka lebih memilih menahan air mata dan menyembunyikan kesedihannya. Selanjutnya apa? Depresi, putus asa, hingga  kehilangan semangat menapaki kehidupan.

Bila hal demikian terjadi pada orang yang tak kita kenal, mungkin kita akan berkata, “Halah, cuma gitu aja kok sampai depresi. Dasar baperan!” Namun, bagaimana jika situasinya berbeda? Jika hal tersebut terjadi pada keluarga kita, orang yang dicintai, atau bahkan kita sendiri, akankah kita tetap mengucapkan hal serupa? Atau seumpama ada orang yang berkata seperti tadi, akankah nurani kita baik-baik saja? Pastinya tidak. Oleh karena itu, perlu adanya pelurusan paradigma kita tentang menangis selama ini.

Nangisnya Jangan Berlebihan

Disadari atau tidak, sebenarnya menangis itu sama dengan tertawa, yaitu sama-sama bagian dari emosi. Seandainya ada orang yang sedih dan mewek kemudian dilarang, itu sama halnya dengan orang yang sedang ceria dan tertawa, lalu dilarang. Sayangnya, tak semua orang menyadari hal tersebut. Ujung-ujungnya, melarang orang tertawa itu nggak waras, tetapi melarang orang menangis biasa saja (bahkan pada beberapa orang menjadi sebuah keharusan). Tak seimbang memang.

Seandainya kita mau berpikir sedikit lebih jauh, serta membaca beberapa artikel terkait, kita mungkin akan menemukan manfaat dari menangis.

Dilansir dari laman tirto.id, ada beberapa manfaat menangis menurut Medical News Today. Beberapa manfaat itu, di antaranya memiliki efek menenangkan, membantu meredakan rasa sakit, memperbaiki suasana hati, merilis racun dan mengurangi stres, membantu tidur lebih cepat, membersihkan mata dari bakteri dan sebagainya.

Ternyata manfaat menangis cukup banyak, sayangnya semua itu tertutup oleh stigma negatif terhadap orang yang menangis. Akhirnya, ya, seperti yang telah ditulis di atas. Banyak orang menyembunyikan air matanya, yang kemudian menyebabkan dirinya depresi.

Oleh karena itu, mari berhenti menghakimi orang yang menangis! Tak ada yang salah dengan hal tersebut, bahkan ia merupakan fitrah, sebab hal tersebut adalah bagian atau suatu cara mengekspresikan emosi.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik. Hal ini juga berlaku pada menangis. South China Morning Post menyatakan bahwa, menangis terlalu banyak justru menjadi indikasi adanya gangguan mental. Jadi, menangislah sekadarnya!.