“Perubahan akan datang di bumiputera. Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara. Sudah ditakdirkan.” – Kartini
Emansipasi yang dalam berbagai literatur dapat diartikan sebagai usaha-usaha yang digunakan untuk mendapatkan kesetaraan. Diawali oleh penulis asal Inggris Marry Wollstonecraft yang menerbitkan buku yang berjudul A Vindication of The Right of Woman. Dimana menjadi awal mula ide-ide abad pencerahan dikaitkan dengan situasi kaum perempuan. Sejak saat itu Marry Wollstonecraft membuka jalan bagi kaum perempuan untuk mengorganisir dirinya dalam skala yang cukup besar dan efektif untuk memperbaiki keadaan mereka, ini pun menjadi cikal bakal terbentuknya gerakan feminisme.
Perempuan selalu dianggap sebagai gender kedua dalam berbagai hal. Ketika mempelajari mata kuliah, Feminisme, perspektif saya bertambah luas. Sederhananya feminisme bukan hanya tentang perempuan yang menginginkan kesetaraan, melainkan juga tentang laki-laki. Contoh kecilnya; ketika seorang suami merawat anak pasti ada pemikiran “istrinya kemana?”, atau ketika ada laki-laki yang berprofesi sebagai koki, tukang salon, dll, pastinya ada sebagian orang yang menganggap bahwa itu adalah pekerjaan perempuan. Feminisme modern sejatinya memperjuangkan semua hak baik itu laki-laki maupun perempuan.
Tapi kita tidak bisa menutup fakta bahwa kesetaraan gender di Indonesia belum berada di titik yang optimal. Ketidaksetaraan gender di negeri ini seakan sudah mendarah daging sejak dulu. Sebuah riset dari Hill ASEAN Studies pada 2018 menyebutkan bahwa 60% istri bekerja di Indonesia, tetapi hanya 3 diantara 10 suami yang bersedia melakukan pekerjaan rumah.
Tidak hanya itu, dalam Catatan Akhir Tahun 2018 Komnas Perempuan menyebutkan ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan seperti; KDRT, poligami, perkawinan anak di bawah umur, kekerasan berbasis cyber, pelecehan seksual, bahkan yang paling sering ditemukan adalah perundungan. Itu juga merupakan sekelumit contoh dari keseluruhan kasus kekerasan perempuan Indonesia.
Namun keluh kita hari ini hanya akan menjadi sekedar keluh jika hanya jalan di tempat. Maka dari itu saya menawarkan solusi-solusi yang progresif dan konstruktif dalam hal ini. Solusi praktisnya adalah menindak tegas terhadap pelaku kekerasan agar memberikan efek jera. Sekarangt justru kebanyakan menyalahkan korban sehingga banyak dari korban yang tidak ingin melaporkan kepada pihak yang berwenang karena tidak ingin disudutkan.
Apakah itu sudah cukup? Tentu saja tidak, perlu juga solusi jangka panjang agar permasalahan ini dapat diatasi secara menyeluruh yaitu dengan pendidikan. Jadi solusi jangka panjangnya adalah dengan:
- Melakukan pemilihan Duta Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang bersifat suistainable di tingkat SD, SMP, & SMA
- Membentuk forum edukatif di setiap kelurahan dan desa yang membahas tentang kekerasan perempuan sekaligus menjadi pusat informasi, pelaporan, pengawasaan, dan pengedukasian terhadap masyarakat.
- Mengoptimalkan kembali kegiatan sosialisasi tentang kekerasan terhadap perempuan, terutama bagi generasi muda
Salah satu tokoh yang dapat kita jadikan teladan dalam permasalahan kesetaraan gender adalah Kartini, yang baru-baru ini kita peringati hari lahirnya. Skala pencapaian Kartini sebagai aktivis perempuan memang tak bisa diabaikan. Ia membangun sekolah perempuan. Kartini menyuarakan perubahan, ia membawa perjuangan dalam fase baru tidak sekedar menuntut pengakuan tetapi juga mengklaim keberadaannya. Mungkin banyak orang yang tak mau ambil pusing soal emansipasi di tengah kalibut dunia karena virus corona. Tapi hari ini Kartini mengingatkan satu hal, habis gelap terbitlah terang, untuk apapun itu.
Penulis: Andi Rafli Nugraha
*) Artikel ini merupakan peserta Collaboration Project on Writing Challenge hasil kolaborasi Milenialis dengan Puan Melawan, Its Girl’s Time, dan Kuntum
Comments