Mengenal jasa Tan Malaka terhadap perjuangan bangsa Indonesia tentu tidak diragukan lagi. Kiprah dan jasanya untuk bangsa Indonesia harus ia tanggung dalam keadaan perburuan, pembuangan, dan bahkan penjara. Hal itu disebabkan karena beliau dianggap sebagai pemberontak terhadap negara dan juga sebagai tokoh besar dari partai PKI, yang pada masa Orde Baru telah diharamkan keberadaannya.

Namun kendati demikian, sangatlah tidak wajar dengan kematiannya yang sangat tragis dan mengenaskan di ujung senapan tentara republik yang didirikannya. Perjuangannya beliau seakan tak pernah dihargai sebagai sosok pahlawan yang revolusioner dan progresif untuk menentang penjajah.

Tan Malaka adalah gelar dewasa dari anak yang terlahir dengan nama Ibrahim di Nagari Pandam Gadang (Pandan Besar), Suliki, Sumatra Barat. Tanggal, bulan, dan tahun kelahiran beliau masih misterius. Namun banyak yang menyebut, beliau lahir pada 2 Juni  1897.

Ayah Tan Malaka bernama H.M Rasad, yang merupakan pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sementara, ibu beliau bernama  Rangkayo Sinah, anak dari orang yang disegani di desa.

Tan Malaka berhasil menempuh pendidikan di Kweekschool (sekolah guru negara) di Bukittinggi pada tahun 1908. Menurut G.H Horensma salah satu gurunya, bahwa Tan Malaka adalah murid yang pintar. Di sekolah tersebut, Tan Malaka banyak menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar Tan Malaka menjadi guru di sekolah Belanda.

Selanjutnya, Tan Malaka meninggalkan desanya untuk melanjutkan pendidikan di Belanda dan belajar di Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) yang didanai para engku di desanya. Sesampainya di Belanda, Tan Malaka banyak dikejutkan dengan budaya dan pengetahuan baru. Selama kuliah juga, pengetahuan beliau tentang revolusi juga meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie pemberian Horensma sebelum keberangkatan beliau ke Belanda.

Setelah terjadi Revolusi Rusia pada Oktober 1917, Tan Malaka semakin tertarik dengan ajaran Komunisme dan Sosialisme. Beliau pun banyak membaca karya-karya dari Karl Max, Friedrich Engels, Vladimir Lenin, dan bahkan Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya.

Tan Malaka pun makin tertarik dengan budaya Jerman dan Amerika, dan mulai membenci  budaya Belanda. Bahkan, Tan Malaka mendaftar militer ke Jerman, namun ditolak karena Angkatan Darat di Jerman tidak menerima orang asing.

Selanjutnya, Tan Malaka bertemu dengan Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), pendahulu Partai Komunis Indonesia (PKI). Akhirnya, Tan Malaka pun tertarik untuk dengan Sociaal Democratische-Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru).

Tan Malaka lulus dan menerima ijazah yang disebut hulpactie pada bulan November 1919. Lalu setelah itu, Tan Malaka kembali ke desanya dan mengajar anak-anak kuli perkebunan teh Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Selain aktivitas mengajar, beliau juga banyak menulis propaganda subversif untuk para kuli sehingga dikenal sebagai Deli Spoor.

Beliau banyak belajar kehidupan kaum pribumi di Sumatra, dan Tan Malaka juga banyak berhubungan dengan ISDV serta beberapa kali menulis di media massa. Salah satu karya awalnya adalah “Tanah Orang Miskin” yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kapitalis dan pekerja.

Pada Tahun 1925, Tan Malaka menjadi tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia, dengan judul Naar de Repupliek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Jauh lebih dulu dibanding Muhammad Hatta yang menulis Indonesia Merdeka (1928), dan Soekarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Peran politik Tan Malaka benar-benar terlihat saat bangsa Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaan, beliau berhasil menggerakkan pemuda ke rapat raksasa ke lapangan Ikada (kawasan Monas) pada 19 September 1945.

Meski Tan Malaka dikenal sebagai tokoh penting yang membidani lahirnya Republik Indonesia, namun garis hidup beliau justru dipenuhi banyak kegetiran. Hampir sepanjang hidupnya, selalu diburu dengan kawan-kawan politiknya dan pemerintah saat saat itu.

Menjelang akhir hayatnya, Tan Malaka pun harus tewas secara mengenaskan. Beliau hilang dan mati tanpa diketahui di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Akhirnya, misteri tersebut terungkap, Menurut Peraturan Direktur Penerbit Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Poeze, Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalion Sikatan, Divisi Brawijaya.

Editor: Ciqa

Gambar: Google.com