Jangan membantah! Memang, perempuan memang selalu benar.

Awal dan Mira merupakan naskah drama satu babak yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani. Naskah ini pertama kali diterbitkan di majalah Indonesia pada tahun 1949. Karya sastra yang awalnya berbentuk prosa ini dialih wahana kan dalam bentuk sandiwara, – karena kepentingan penerbitan buku tanpa mengubah tatanan dialognya – yang berkisah cerita asmara muda-mudi yang memiliki masalah dalam hubungannya.

Seperti kebanyakan masalah yang singgah dalam hubungan percintaan, hal yang langka dibahas dan perlu diketahui bersama adalah ‘konflik rumit dan dilematis sebetulnya muncul dari pikiran para pasangan itu sendiri’. Dan tanpa kita sadari, konflik dari tahun 1951 di mana kisah fiksi tersebut diceritakan, tampaknya menjadi masalah yang sampai sekarang belum mencapai kata ‘selesai’.

Inti dari masalah mereka dalam kisah tersebut, dapat disaksikan dengan monolog yang diambil dari cuplikan dialog Awal kepada Mira, “Soal antara kita ialah, kau bukan aku dan aku bukan kau.” (Awal dan Mira, h. 2). Diksi-diksi yang tersusun rapi itu saling berkontroversi.

Seperti yang telah kita semua ketahui, pronomina “kita” sebenarnya menunjukkan arti saling berhubungan dan kesatuan. Sedangkan dalam kata selanjutnya, justru dijelaskan bahwa ‘kau dan aku’ – dua orang sebagai tokoh utama – merupakan jiwa dan raga yang berbeda a.k.a tidak akan bersatu. Nah, diksi monolog singkat tersebut secara tidak langsung sudah menyimpulkan seperti apa masalah dalam naskah drama Awal dan Mira ini.

Konflik dalam kisah berlatar zaman setelah peperangan ini bermula dari Mira, gadis cantik – berstatus penjual kopi – yang menjadi idaman sosok Awal, selalu menarik dirinya untuk membersamai kehidupan Awal.

Selain karena kesenjangan sosial, ada hal lain yang membuat Mira terasa terikat dengan kedai kopinya. Hal itu sesuai dengan dialog yang diucapkannya, “Tapi saya tak dapat meninggalkan kewajiban sebagai tukang kopi.”

Pernyataan tersebut diperkuat lagi dengan ucapan, “Mas, jangan mencoba pula hendak menimbulkan kepercayaan dalam hatiku dengan mengatakan yang bukan-bukan. Kedaiku ini duniaku. Dan kedaiku ini kuat. Sedangkan tenaga jasmanimu lemah.” (Awal dan Mira, h. 21).

Coba katakan, apa yang dapat kalian simpulkan dari pernyataan tersebut? Dari mana sebenarnya letak masalahnya? Apakah dari keegoisan Awal yang sebenarnya cintanya bertepuk sebelah tangan? Tetapi kebenarannya justru bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan.

Seperti yang telah dijawab oleh Mira melalui ucapannya, “Aku cinta padamu.. cinta dengan segenap jiwa rohaniku. Aku cinta padamu. Tapi aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri. Tidak! Aku tidak percaya! Tidak percaya!” (Awal dan Mira, h. 21).

Ternyata bukan keegoisan Awal yang menjadi dalang dari masalah mereka! Tetapi ketidakpercayaan Mira. Mira tidak percaya kalau dia dapat hidup bersama Awal, “Tidak! Kau dan aku mesti mati. Mati bersama. Sebab aku tidak percaya kau dan aku bisa hidup bersama. Aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri.” (h. 21).

Tidak percayanya Mira terhadap cinta Awal terus-menerus ia katakan. Seperti ada keraguan, ada hal yang ingin ia sampaikan sekaligus tidak bisa ia ucapkan.

Sampai pada akhirnya, terbongkarnya rahasia yang Mira tutup rapat-rapat justru menjadi penutup pahit dari kisah ini. Yang sebenarnya adalah, Mira tidak percaya. Ia tidak percaya pada dirinya sendiri. “Ya, Mas, inilah kenyataanku. Kakiku dua-duanya buntung. Buntung karena peperangan. Tapi lantaran inilah, Mas, lantaran ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, aku bagimu merupakan paduan dari keindahan surga yang kau impikan dan kepahitan dunia yang kau rasakan. . .merupakan wanita utama. Tapi sekarang. . .” (h. 22).

Keterkejutan Awal atas rahasia Mira yang kemudian membuat Awal jatuh telungkup menjadi adegan akhir dalam naskah drama ini. Setelah itu pun, tidak dijelaskan lagi bagaimana dengan masalah di antara mereka yang belum terselesaikan. Atau bahkan berakhir lah cerita tersebut, berakhir juga keduanya.

Konflik yang tersirat dalam naskah drama Awal dan Mira merupakan konflik batin. Permasalahan Awal dan Mira dengan pikiran mereka sendiri. Alam bawah sadar Awal berambisi menghabiskan kehidupannya dengan Mira. Sedangkan Mira, sibuk dengan pikirannya – aku buntung, cacat fisik, dan tidak akan pernah pantas hidup bersama Awal – sendiri.

Setelah menimbang dan kemudian memutuskan, rasanya akan jauh lebih tepat jika yang bersalah dalam masalah tersebut adalah komunikasi. Itu saja cukup. Jika keduanya cukup sering berdebat dan terlalu banyak menghabiskan kata-kata, ‘komunikasi’ di sini dapat lebih diartikan sebagai upaya menyampaikan dan memahami.

Jangan pernah mengatakan bahwa Mira bersalah karena tidak sekalipun mencoba mengatakan rahasianya kepada Awal. Jika pun ada yang menyalahkannya, Mira pasti membela diri dengan dalih, “Memangnya setelah aku mengatakannya, Mas bisa menerima keadaan fisikku apa adanya? Adakah jaminannya? Atau bisa saja nanti kau malah menghinaku.”

Sampai pada masa sekarang ini, munculnya slogan ‘perempuan selalu benar’ sepertinya akrab menjadi tameng perlindungan bagi kaum perempuan. Namun, jangan salah paham. Slogan tersebut sebenarnya tidak salah. Hanya saja, kehadiran slogan tersebut tampaknya disalahgunakan sebagai senjata dalam peperangan.

Editor: Ciqa

Gambar: Google.com