Apa iya stigma pesantren selalu buruk?

Semua anak itu pandai, tergantung bidang keahlian masing-masing. Ada yang tidak mahir dalam berolahraga, tapi sangat mudah menyelesaikan soal matematika. Tidak mahir dalam matematika, tapi piawai dalam merangkai kata menjadi sebuah cerita. Anak yang kelihatannya sulit diatur, tapi semangat berbagi kebaikannya tidak mudah luntur.

Mengenai anak yang sulit diatur, pesantren seringkali mendapatkan stigma tempat ‘buangan’, dalam artian tempat buangan untuk anak yang sulit diatur. Padahal, dengan adanya pendidikan pesantren, tantangan bisa berubah menjadi peluang. Mereka yang dijuluki sebagai anak nakal merupakan tantangan bagi pesantren. Tugas pesantren adalah bagaimana dapat mengubah anak-anak tersebut menjadi peluang, menjadi generasi penerus bangsa yang berguna bagi negara. Memang tetap ada satu atau dua anak yang belum bisa mengubah karakternya, tetapi jumlah santri yang karakternya bisa berubah secara signifikan masih lebih banyak. Dari sinilah santri Indonesia bisa menjadi agent of change bagi negara.

Banyak pendidikan pesantren yang tidak diajarkan di sekolah umum. Salah satu pendidikan yang diajarkan di pesantren, yaitu mereka diajarkan untuk disiplin dalam menaati aturan. Santri diwajibkan untuk tertib mengikuti seluruh kegiatan pesantren, salah satu kegiatannya adalah mengaji. Dari mengaji ini, santri menjadi sering mendengarkan nasihat sehingga kesadaran mulai muncul dalam diri mereka. Hal ini bisa menjadi bekal bagi mereka di masa yang akan datang dalam menjalani kehidupan, terutama jika menjadi seorang pemimpin, maka bisa memimpin dengan bijaksana sesuai tuntunan agama.

Tidak hanya belajar ilmu agama, santri juga diharuskan untuk mempraktikkan ilmu yang sudah dikaji, seperti bangun dan doa di sepertiga malam, salat dhuha, salat rawatib, dan lain-lain. Selain itu, melalui pendidikan pesantren, banyak karakter yang bisa didapat, seperti kerukunan, kekompakan, kerjasama yang baik, kejujuran, amanat, hemat, dll.  

Ada beberapa peraturan yang diterapkan di pesantren, salah satunya santri dilarang membawa handphone atau gawai dan sejenisnya sehingga aturan ini membuat santri sering dicap sebagai seseorang yang gaptek. Namun, hal tersebut tidak menutup kemungkinan mereka untuk menjadi agent of change. Mereka mungkin tidak bisa memanfaatkan teknologi ketika mereka menjadi santri, tetapi setelah lulus dari pendidikan pondok pesantren, mereka bisa belajar teknologi bahkan sampai ke akarnya. Dengan demikian, mereka tetap bisa menjadi agent of change yang melek teknologi.

Selain itu, daya imajinasi dan kreativitas seorang santri juga tidak boleh diragukan. Dengan adanya larangan membawa gawai, justru mereka akan mencari kesibukan yang bermanfaat dan termotivasi untuk mengasah kreativitas.  Contohnya, pelaksanaan acara kemandirian seperti memasak, berkebun, menggambar, atau kegiatan lain yang mampu mendukung minat dan bakat mereka yang bahkan bisa digunakan sebagai bekal untuk bekerja. Kegiatan tersebut mereka atur secara mandiri sehingga akan memupuk rasa tanggung jawab santri.

Beragam hal yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan bahwa seorang santri yang berlatar belakang “buruk” sekalipun memiliki peluang besar untuk menjadi agent of change bagi negara. Dengan banyaknya manfaat, keterampilan, dan ilmu yang diajarkan, pondok pesantren dapat menjadi salah satu “modal” masa depan bangsa. Mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam dan menjamurnya pondok pesantren di Indonesia, maka peluang Indonesia menjadi negara yang maju karena generasi emas yang dimilikinya akan lebih besar.

Editor: Ciqa

Gambar : Tirto.id