Apa yang muncul dibenak kalian tentang kehidupan masa kini? Monoton, malas, dan bosan. Ya, itulah yang sedang dirasakan oleh beberapa kalangan saat ini, termasuk saya sendiri. Hampir dua tahun duduk manis di depan laptop, berselancar di media sosial, serta menjadi budak Zoom dan Google Meet adalah kegiatan rutin saya. Bagaimana rasanya? Sudah dipastikan sakit pinggang, mata lelah, dan tangan seakan melintir menjadi konsumsi sehari-hari.

Apalagi saat memasuki dunia perkuliahan yang langsung ditimpa dengan tugas-tugas, mulai dari pre test, refleksi, makalah, presentasi, dan laporan praktikum yang datang silih berganti. Di otak saya bukannya timbul reaksi mengerjakan tugas, melainkan timbul jutaan keluh kesah. Ingin sekali melepas penat dengan healing, hangout, pergi ke bioskop, atau sekedar nongkrong di angkringan sederhana. Namun sepertinya itu hanyalah wacana yang tak kunjung menjadi realita. Mengapa demikian?

Nasib Dunia Film di Era Pandemi

Sejak adanya pandemi, dunia perfilman Indonesia hampir gulung tikar. Bioskop tutup menyebabkan para pelaku dunia perfilman tidak dapat menyalurkan ide serta tidak mendapatkan pundi-pundi rupiah sebagai penunjang perekonomian mereka. Tak ada lagi proses shooting dan promosi film ke berbagai daerah di nusantara. Dengan demikian, masyarakat tidak bisa menikmati film seperti biasanya. Masa iya mau nonton kursi dan layar kosong aja? Anggapan jika pandemi ini mematikan industri perfilman saya rasa benar adanya.

Menyikapi permasalahan di atas, sebenarnya ada solusi seiring dengan berkembangnya digitalisasi di negeri ini. Bisa dengan menonton film melalui aplikasi layanan video berbayar ataupun menontonnya di aplikasi sejuta umat, alias YouTube. Saya akan membahas terlebih dahulu mengenai aplikasi layanan video berbayar, yaitu WeTV. Aplikasi WeTV merupakan aplikasi layanan video dengan berbagai jenis genre yang dimiliki oleh Tencent, sebuah perusahaan teknologi dari Tiongkok.

Setitik harapan untuk para penggemar film

Adanya aplikasi WeTV ini memberikan setitik harapan bagi dunia perfilman Indonesia untuk bangkit kembali membuka gulungan tikar sebelumnya. Terbukti, mulai tahun 2020 para pelaku industri perfilman telah beralih ke WeTV sebagai alternatif penayangannya. My Lecturer My Husband, Kisah untuk Geri, Satu Amin Dua Iman, Antares, dan Little Mom merupakan beberapa contoh web series produksi Indonesia yang dapat disaksikan melalui aplikasi WeTV ini.

Namun aplikasi WeTV ini dapat diakses dengan berlangganan VIP yaitu melakukan transaksi pembayaran sebesar Rp 15.000,00 setiap bulannya. Tapi kalau mau yang gratisan juga bisa kok. Kelebihannya, baik pelanggan VIP maupun gratis dapat mengunduh video yang diinginkan.

Sebagai insan yang minim kuota internet seperti saya ini sangat dimudahkan, karena video dapat diakses secara offline. Dari sinilah yang menjadikan aplikasi ini digemari oleh banyak kalangan sebagai hiburan di tengah kesibukan mereka. Tapi ribet gak sih? Apalagi bagi pengguna akun gratis, fitur yang didapatkan sangat terbatas. Kita tidak bisa menonton video secara lengkap dan hanya dapat diakses seminggu sekali.

Nah, kan jadi digantung kayak hubungan sama doi. Udah dibuat penasaran di awal, tapi malah tak berujung mendapat kepastian. Sudahlah, back to the topic. Berbeda halnya dengan pelanggan VIP, mereka dapat mengaksesnya lebih cepat tanpa harus menunggu terlebih dahulu.

Menunggu bukanlah budaya generasi millenial yang ingin serba cepat, mudah, praktis, sekaligus gratis. Kalau ada yang mudah kenapa mencari yang susah? Kalau ada yang gratis kenapa harus bayar? Kurang lebih seperti itulah curahan hati penikmat film. Demi film gratisan, saya memutuskan berpindah haluan dengan menjadi generasi bajakan. Melalui bantuan YouTube saya bisa berselancar menikmati puluhan film dengan berbagai genre secara gratis dan praktis. Menurut kami, si generasi bajakan, tak perlu susah payah ke pusat kota untuk menonton film di bioskop ataupun harus membayar Rp 15.000,00 di WeTV. Itu buang-buang waktu banget gak sih?

Hey generasi bajakan! Generasi yang cuman pengen mudahnya tapi gak mau nanggung susahnya. Tahukah jika hal yang kamu lakukan itu termasuk pembajakan hak cipta? Astaghfirullah, padahal produser, sutradara, tokoh, dan pihak lain yang terlibat sudah susah payah memikirkan ide, menyusun naskah, melakukan proses shooting, dan mengedit film hingga layak tayang. Namun, para generasi sukanya bajakan ini malah cenderung menyepelekannya. Dengan cara menyaksikan film bajakan tersebut sama dengan tidak menghargai industri perfilman di Indonesia. Dunia perfilman sudah susah payah berjuang di masa pandemi, malah harus bersaing pula dengan generasi sukanya bajakan di negeri sendiri.

Bicara tentang hak cipta, tahukah kamu apa itu hak cipta?

Hak cipta di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan yang diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Adanya hak cipta ini menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif Indonesia, sehingga diharapkan dapat berkontribusi untuk perekonomian Indonesia yang lebih optimal. Berdasarkan undang-undang di atas, pengunggahan video dari WeTV ke YouTube ataupun aplikasi sejenisnya sudah termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Meskipun  publikasi video ke YouTube tidak bersifat komersial, itu tetap dikatakan sebagai pelanggaran hak cipta karena kita tidak memiliki izin dari pemilik hak untuk mengupload video miliknya.

Dari permasalahan ini dapat disimpulkan kita bukanlah generasi millenial yang membanggakan, namun malah menjadi generasi sukanya bajakan yang mengecewakan. Mari sudahi kebiasaan menonton film dari sumber yang tidak jelas. Jangan sampai rasa bosan dan malas dalam melakukan sesuatu justru menjerumuskan kita ke hal-hal yang tercela. Sejatinya kita digadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa, maka kita harus bijak dalam menerima dan melakukan sesuatu.

Patuhi seluruh aturan perfilman di Indonesia sama dengan berkontribusi aktif mendukung perfilman Indonesia. Pada dasarnya, kebijakan hak cipta ini dibuat bukan untuk kepentingan pribadi, namun juga demi keberlangsungan industri perfilman di Indonesia agar dapat bertahan di tengah pandemi ini.. Yuk move on dari generasi bajakan menjadi generasi intelektual!

Editor: Nawa

Gambar: moneykompas.com