Sedari dulu, Islam identik sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan, kedamaian, dan toleransi dalam merajut ukhuwah dan kasih sayang. Simpul-simpul silaturahmi selalu menjadi pengerat persaudaraan walaupun itu berbeda kepercayaan sekalipun. Semisal saat masuknya bulan Ramadan, kita dihadapkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, menjaga segala nafsu yang mengkristal, dan tentunya saling tolong menolong dalam berbagi kebaikan terhadap sesama.
Tapi, sepanjang perjalanan Islam dari zaman suri tauladan Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, selalu ada perbedaan-perbedaan yang tidak jarang berakhir perpecahan dan berujung tragis. Contoh besarnya adalah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib oleh musuh-musuh yang tidak menginginkan kedamaian tersebut.
Setidaknya, ada tujuh aliran yang pernah ada atau masih eksis sampai sekarang. Di antaranya Sunni, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Qadariyah, dan Jabariyah. Perbedaan Aliran-aliran ini lah yang menyebabkan saling klaim kebenaran selalu menyeruak di mana-mana, tuduh-menuduh hingga saling mengkafirkan. Padahal mereka satu payung bersama, Islam.
Tapi tidak semuanya begitu. Pasti ada–bahkan mayoritas–menginginkan kedamaian. Aliran boleh beda, tapi persaudaraan harus tetap sama dalam panji-panji Islam.
Ada tiga rekayasa struktural menjadikan muslim sebagai pribadi ideal di tengah keberagaman yang ada: Ramah, rahmah, muhasabah.
Muslim Ramah
Orang-orang muslim dalam kehidupan sehari-hari tidak terlepas dari sikap simpati maupun empati terhadap sesama manusia. Misalnya membantu yang meminta pertolongan, mencari solusi di atas permasalahan, bahkan hal-hal rumit pun bisa jadi mudah dengan sikap gotong royong.
Tapi hal ini tidak berlaku dalam urusan politik, yang identik dengan “marah-marah” jika beda arah politik. Hal ini sangat dirasakan dampak negatifnya, karena justru sesama muslim yang bertikai. Berbeda sedikit, sudah dinilai ini itu.
Tapi sekali lagi, hal ini tidak menafikan umat yang menginginkan kedamaian. Banyak orang yang masih bisa bersikap tenang walau beda pandangan, karena bertikai karena berbeda pandangan politik dianggap perbuatan sia-sia.
Dengan begitu, menjadi muslim yang ramah merupakan suatu hal yang diharuskan oleh Rasulullah SAW sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa Rasulullah bersabda:
“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia,”
(HR Thabrani dan Daruquthni).
Ini tentu menjadi pesan buat kita sebagai muslim untuk bersikap ramah terhadap siapapun itu, bukan sebaliknya. Karena dengan bersikap ramah, banyak hal jadi mudah.
Muslim Rahmah
Setelah pribadi muslim membiasakan diri dengan sikap ramah, maka seyogianya tingkatan rahmah akan diraih dengan sendirinya.
Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin yang merupakan simbol perekat kemajemukan dalam berbagai tataran lini kehidupan.
Islam sangat kaya akan spritualitas ilahiyah yang terejawantah pada sikap toleran, inklusif, moderat, dan menebar kedamaian. Yang terwujud dalam paradigma “hablun minannas”, yang sangat erat kaitannya dengan relasi antara sesama manusia.
Maka ini menjadi suatu keharusan bagi diri pribadi muslim untuk menebar kasih sayang kepada sesama manusia. Apalagi jika kasih sayang itu dari Allah SWT, maka keberkahan hidup akan selalu menghampiri.
Muslim Muhasabah
Puncak dari segala amalan-amalan adalah Muhasabah. Walaupun telah menganggap diri sebagai muslim ramah lalu menjadi muslim yang rahmah, tapi jika tidak dibarengi dengan muhasabah, pasti akan terjerumus kepada sikap ingin mendapat pengakuan manusia alias Riya’.
Muhasabah dikonotasikan sebagai evaluasi diri. Melihat apa yang sebelumnya telah diperbuat. Jika masih ada kekurangan, maka seharusnya meminta ampun kepada Allah SWT, lalu perbaiki dan melihat kelebihan sebagai bentuk kesyukuran yang perlu dipertahankan dan harus ditingkatkan.
Muhasabah sangat ditekankan kepada seorang muslim, sebagaimana perintah dalam Surah Al-Hasyr ayat 18, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Al-Hasyr: 18)
Jadi, tiap diri kita harus memosisikan diri sebagai manusia yang tak luput dari dosa, karena dengan muhasabah, menjadikan kita sebagai muslim yang bisa bermanfaat bagi orang lain.
Penulis: Rahmatullah Syabir
Penyunting: Aunillah Ahmad
Comments