Tidak terasa pandemi COVID-19 telah berusia satu tahun. Apabila kita ibaratkan manusia, tentu di usia 1 tahun manusia belum bisa berbuat banyak, kecuali makan, nangis, dan berak. Tapi hal tersebut nampaknya tidak berlaku bagi si kecil COVID-19 . Meski baru berusia 1 tahun, jutaan nyawa manusia telah berhasil ia hantarkan ke peristirahatan terakhir. Sedari kecil COVID-19 memang sudah aktif ya bund?

Di usianya yang masih belia, tidak diketahui secara pasti COVID-19 terdaftar di catatan sipil mana. Akta kelahirannya pun banyak dipertanyakan. Namun yang pasti, COVID-19 sudah berkeliaran di negeri Cina sejak November 2019. Hal tersebut terbukti dengan terkonfirmasinya seorang penduduk Hubei yang berusia 55 tahun. Semenjak kasus tersebut, sejumlah kasus dilaporkan setiap harinya oleh otoritas Cina. Hingga akhirnya pada tanggal 31 Desember 2019, Cina menyampaikan laporan kepada organisasi kesehatan dunia, yakni WHO, mengenai sejumlah kasus Pneumonia baru di Wuhan. Dari sinilah masyarakat mencatat COVID-19 merupakan putra daerah Wuhan.

Seiring dengan berjalannya waktu, COVID-19 nampaknya mulai akrab dengan kerumunan massa. Menurut perkiraan, momentum awal mula persebaran COVID-19 adalah ketika libur atau mudik tahun baru Imlek. Pada momen tahun baru Imlek tersebut ribuan bahkan jutaan warga Cina banyak melakukan perjalanan ke luar daerah hingga keluar negeri. COVID-19 pun  tampaknya tidak mau ketinggalan untuk ikut bertamasya bersama sejumlah manusia yang sudah ia hinggapi menuju ke berbagai negeri. Akhirnya satu demi satu negara menyampaikan bahwa sejumlah warganya terpapar corona.

Di Indonesia, kasus pertama Corona menimpa 2 warga Depok, Jawa Barat usai melakukan kontak dengan warga negara Jepang.  Perlahan persebaran COVID-19 merangsek ke sejumlah wilayah kepulauan Nusantara. Tidak peduli warga kota, warga desa, pejabat negara, orang dewasa, lansia, hingga remaja berpotensi sama untuk terpapar corona. Terdapat sejumlah hal menarik seputar perjalanan COVID-19  di Indonesia. Berikut beberapa hal menarik semenjak kedatangan COVID-19  di Indonesia.

Disambut Gelak Tawa Pemerintah Indonesia

Masih segar dalam ingatan kita celotehan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mengatakan bahwa virus Corona sulit masuk ke Indonesia karena proses perizinannya susah. Saya masih belum bisa menangkap letak lucunya jokes tersebut. Ungkapan Bahlil tersebut bagi saya lebih terdengar seperti sedang menyindir bagi birokrasi pemerintahan. 

Selain celotehan bapak Kepala BKPM, ternyata sejumlah pejabat negara mempunyai selera humor yang teramat payah. Sebut saja Pak Luhut Binsar Pandjaitan yang ketika ditanyai seputar virus Corona, eh malah jawabnya ke mobil Corola. Dan juga pak Airlangga (Menteri Perekonomian) yang lagi-lagi mengatakan kalau COVID-19 sulit masuk tanah air karena izinnya susah. 

Tapi plot twistnya tetap pada Pak Menteri Perhubungan, Budi Karya S, yang mengatakan Corona gak bakal masuk ke Indonesia karena masyarakat kita yang kerap menyantap nasi kucing. Sialnya, justru kemudian Pak Budi Karya tervonis positif COVID-19 yang membuat saya berpikir kalau jangan-jangan beliau sedang diet dan tidak makan nasi?

Belum lagi aksi joget tik tok ala Menkopolhukam, Mahfud MD, juga mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat. Sebenarnya mengkampanyekan hidup sehat memang penting untuk menangkal virus corona. Namun dengan berjoget ala tik tok, tindakan Mahfud MD tetap dinilai kurang tepat. 

Beradaptasi dengan Korupsi di Satu Tahun COVID-19

Siapa bilang dengan adanya pandemi, praktik korupsi akan mati. Sebaliknya, dengan adanya pandemi, ruang-ruang baru bagi korupsi kian terbuka. Hal tersebut disebabkan oleh kucuran anggaran yang seharusnya diperuntukan untuk penanganan COVID-19, malah diselewengkan untuk menumpuk kekayaan. 

Pada bulan April, terjadi pemotongan bantuan warga yang dilakukan oleh oknum RT di Desa Talok, Kecamatan Kresek, Kabupaten Tangerang. Dana bansos yang seharusnya diperoleh warga sebesar 600 ribu per KK harus disunat 100 ribu per KK oleh oknum RT. Berkaca dari fenomena tersebut, praktik korupsi telah masuk ke dalam ranah pemerintahan terkecil, yakni tingkat RT.

Minimnya transparansi serta pengawasan dari masyarakat menyebabkan praktik korupsi mampu berkolaborasi dengan pandemi. Sebenarnya hal tersebut juga tidak mengherankan, mengingat korupsi juga merupakan pandemi. Bedanya, apabila COVID-19 merupakan pandemi yang diakibatkan oleh virus, korupsi adalah pandemi yang diakibatkan oleh kemerosotan moral para pemangku jabatan.

Belum lagi yang belakangan bikin geger dan naik darah. Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) telah menangkap dan menetapkan tersangka terhadap Menteri Sosial ( Mensos) Juliari Batubara terkait kasus korupsi pengadaan bantuan sosial ( bansos) penanganan Covid-19 di Kementerian Sosial tahun 2020. Bisa-bisanya… Sungguh nggak habis pikir.

Susahnya Menghindari Kerumunan

Budaya srawung yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia tampaknya memang susah untuk dihilangkan, atau setidaknya dikurangi. Hal tersebut sebenarnya tidak masalah, mengingat sejumlah manfaat dari srawung itu sendiri. Srawung bermakna kumpul atau pertemuan antara lebih dari 1 orang kelompok. Tujuan dari srawung yakni untuk bercerita, bertukar pikiran, hingga berbagi keresahan dengan dibalut nuansa kekeluargaan. 

Namun di tengah pandemi seperti saat ini srawung dengan tidak memperhatikan protokol kesehatan justru akan menimbulkan klaster baru persebaran COVID-19 . Di Indonesia sendiri terdapat sejumlah klaster besar persebaran COVID-19 , seperti klaster asrama haji Surabaya, klaster perusahaan Kota Semarang, klaster ijtima Gowa, klaster Secapa TNI AD Bandung, dan masih banyak lagi.

Yang mengherankan, meski sudah terdapat contoh klaster persebaran COVID-19 , masyarakat Indonesia nampaknya tidak takut untuk kembali berkumpul dengan jumlah yang besar tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Bahkan belum lama ini terjadi kerumunan massa dalam skala yang besar dalam rangka penyambutan Habib Rizieq Shihab. Namun, ya semoga saja hal tersebut tidak menimbulkan klaster baru. Lucu rasanya di tengah kegembiraan penyambutan Imam Besar FPI malah muncul klaster covid.

Pesta Demokrasi Saat Pandemi

Pro kontra seputar pemilihan kepala daerah di tengah pandemi menjadi topik pembicaraan menarik untuk kita ikuti. Bagi mereka yang pro, dengan adanya kepala daerah baru diharapkan dapat menekan laju persebaran covid di tiap daerah. Bagi mereka yang kontra, dengan adanya pilkada serta kampanye yang membersamainya jelas bakal memunculkan klaster baru persebaran COVID-19 . Namun nampaknya pemerintah tetap akan melaksanakan pilkada serentak di sejumlah daerah. Meski sudah diperingatkan NU, Muhammadiyah, MUI, dan sejumlah pihak maupun masyarakat.

Sebenarnya sangat disayangkan keputusan pelanjutan pilkada yang barangkali terkesan memaksakan. Akan jauh lebih efektif apabila anggaran pilkada yang sedemikian besar dialihkan untuk penanganan COVID-19 . Mulai dari pencegahan hingga pengobatan. Namun sekali lagi, pilkada itu prioritas!

.

Bagaimanapun, di tengah usia yang baru menginjak satu tahun, selalu teriring doa bagi anda COVID-19. Bukan lagu “Selamat Ulang Tahun” dari Jamrud yang akan kami perdendangkan, namun lagu “Sayonara” yang sering diputar di sejumlah kafe untuk “mengusir” pelanggan. Bukan kado boneka yang dibungkus kotak dengan balutan kertas kado yang akan kami beri, tapi vaksin dari beberapa peneliti yang sudah teruji. Yang jelas bukan pula doa semoga panjang umur yang akan kami atur, tapi doa agar engkau cepat kabur.