“Stand up comedy adalah komedi cerdas,” sebuah predikat di awal kemunculan stand up di Indonesia 2011 silam. Bendera stand up comedy dikibarkan oleh lima founders Standupindo yaitu Ernest Prakasa, Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, Isman HS dan Ryan Andriandhy, serta komika generasi pertama lainnya. Selepas Stand Up Nite di Comedy Cafe, video para komika lawas ini menjadi panduan komika-komika baru, serta pemicu lahirnya komunitas di daerah. Yah, stand up comedy meledak, dan selalu lekat dengan predikat “komedi cerdas”.

Predikat “komedi cerdas” sendiri sebenarnya datang dari Ramon Papana, yang suka atau tidak suka, merupakan kepingan dari kemunculan awal itu. Predikat itu diamini oleh komika dan penikmat stand up comedy generasi lawas dan disimbolkan sebagai perlawanan terhadap komedi mainstream industri, lebih lagi dengan komedi slapstick-nya. Masa itu adalah kejayaan komedi slapstick, di mana OVJ populer dengan komedi styrofoam, serta Pesbukers dengan komedi tepungnya, dan stand up comedy menentang style itu.

Anggapan “komedi cerdas” sendiri juga turut menjadikan skena stand up comedy sedikit berjarak dengan skena lawak konvensional, kata Cing Abdel Achrian, sebagai bagian keduanya, baik stand up comedy maupun skena lawak lawas. Materi stand up komedi seolah harus berisi, hingga generasi awal stand up didominasi kaum-kaum intelek kampus, pegawai kerah putih, penyiar radio hingga seniman-seniman underground.  Predikat itu seolah diamini pada kenyataan bahwa seni ini hanya tampil di layar kaca oleh Kompas TV dan Metro TV. Keduanya merupakan televisi berita, dan dianggap sebagai zona orang-orang cerdas, serta eksklusif. Pun selain cerdas, stand up juga identik dengan kelas menengah. 

Dan di fase-fase menuju setengah dekade stand up comedy di Indonesia, ada peristiwa menarik yang merubah mindset itu. Mindset indie menuju industri. Gelombang kedua perluasan pasar stand up comedy ditandai oleh dua peristiwa, yaitu meledaknya SUCI 4 dan Dodit Mulyanto pada 2014, serta munculnya Stand Up Comedy Academy di Indosiar pada 2015.

dari SUCI ke SUCA, Komedi Cerdas yang Banting Setir

SUCI 4 dan Dodit Mulyanto adalah fenomena. Pada zamannya, stand up comedy menjelma menularkan virus lebih luas ketimbang generasi awal yang baru membabat alas, sosok Dodit kala itu memiliki pengaruh seperti Raditya Dika yang menginspirasi generasi awal. Pun, virus itu tak hanya menjangkiti pasar-pasar yang serupa dengan sebelumnya. Lebih lagi, juara pada musim itu adalah David Nurbianto dengan persona tukang ojek-nya. Ia seolah meruntuhkan anggapan ekslusifitas kelas menengah, yang mana di fase-fase awal jarang komika muncul mengorek-orek kemiskinan. Kendati David merupakan komika generasi awal, namun baru benar-benar berjaya di SUCI 4.

Setahun berselang, lahirlah SUCA di Indosiar. Masa itu, soal rating Indosiar jelas lebih superior ketimbang Metro TV dan Kompas TV. Dan Indosiar cenderung menjamah pasar-pasar mainstream dan orang daerah. kehadiran SUCA justru ditanggapi dengan penuh kontra oleh generasi awal. Indosiar ditakutkan merusak citra cerdas itu dengan merobohkan ekslusifitas stand up comedy, hingga anggapan televisi dangdut tak layak menayangkan komedi cerdas.

Tapi apa daya, SUCA tetap berjalan, dan benar saja virus Indosiar menjadikan stand up sebagai hiburan mainstream lintas kelas. Indosiar jelas menyesuaikan pasarnya, turut pula menampilkan gimik-gimik yang dulunya dibenci komika generasi lawas, kendati SUCA diproduseri orang yang sama dengan SUCI yaitu Indra Yudhistira. Pun para jebolan SUCA pada akhirnya diarahkan pada industri mainstream. Sebuah masa yang benar-benar merubah arah komika di Indonesia.

.

Semakin digemari masyarakat luas, maka keinginan menjadi komika turut pula menjadi besar. Semakin banyak komika turut pula membuat komika tertekan untuk keluar dari zona nyaman, tak ada lahan yang aman. Jika di generasi awal karir industri para komika hanya sebatas Kompas TV dan Metro TV serta mentok-mentok menjadi pemain film. Di masa yang baru ini mereka dituntut menanggalkan idealisme-nya.

Indosiar turut pula membuat stasiun televisi lain terpecut untuk turut menggunakan komika. Komika dipaksa bermain komedi slapstick, gimmick dan tampil layaknya entertainer mainstream industri. Tapi ramainya persaingan dan terbukanya peluang, mau tidak mau pilihan terjun ke industri mainstream adalah jalan hidup baru seniman-seniman stand up, industri adalah kenyataan zaman. 

Se-dekade berlalu, idealisme dan komedi cerdas itu ditanggalkan, begitu pula dengan ekslusifitasnya. Di sisi baiknya, kini stand up comedy justru mengembalikan marwah komedi, bahwa esensi komedi itu yang penting lucu terlebih dahulu, cerdas atau tidak itu soal pilihan. Dan kembali menyatakan bahwa sejatinya komedi adalah kebutuhan lintas kelas. Viva la komtung!

Penyunting: Halimah
Sumber gambar: IDN Times