Saya rasa, stasiun televisi TransTV lah yang pertama kali berhasil membangun image kalau “kru TV itu keren!” Nggak percaya?

Begini ceritanya.

Saat itu, tahun 2002, belum genap setahun stasiun televisi ini mengudara. Saya termasuk dalam batch kedua dalam progam Broadcast Development Program (BDP) mereka. Program BDP ini merupakan program training untuk karyawan baru selama 3 bulan. Kami belajar, dan mencoba menempati beberapa bagian produksi secara bergiliran, untuk kemudian dievaluasi dan diputuskan bagian mana yang cocok untuk kami. Seperti management trainee lah, kalau di kantor-kantor lain.

Puluhan karyawan trainee ini berusia muda, kebanyakan fresh graduate. Dan menurut saya, TransTV cukup jeli melihat hal ini sebagai “modal jualan” mereka. Karyawan muda belia dalam balutan seragam hitamnya pun langsung menjadi ikon kru televisi yang tertanam di benak semua orang. Padahal, berpuluh tahun sebelumnya telah ada stasiun televisi lain seperti TVRI, TPI, Metro TV, RCTI, SCTV, serta ‘raksasa’ Indosiar. Tapi ya baru TransTV yang “mempermak” karyawannya dan mengekspos mereka dalam berbagi kesempatan, seperti shot bocoran saat syuting atau tayangan behind the scene saat credit title di akhir tayangan.

Entah disengaja atau tidak, tapi “misi” ini menurut saya sukses membuat orang ingin jadi bagian produksi televisi. Broadcaster itu keren! Buktinya, perekrutan program BDP di tahun-tahun selanjutnya diminati ratusan, bahkan ribuan pelamar. Melansir detik.com, tahun 2007 Trans Corporation bahkan mencatatkan rekor di MURI setelah mengadakan rekrutmen di beberapa kota besar di Indonesia, yang dihadiri oleh 110.000 peserta, dengan 70 ribunya diadakan di Gelora Bung Karno, Jakarta. Padahal, kuota yang mereka buka hanya untuk 500 posisi di TransTV dan Trans7. Gilak!

Jujur saya syok ketika pertama kali membaca berita tersebut. Warbyasah! Terbukti, industri ini sangat diminati. Tapi setelah itu, saya pun bertanya-tanya, berapa banyak yang nantinya bisa bertahan di jenis pekerjaan ini?

Kerja di televisi itu memang asyik (dan terlihat keren). Tapi menurut saya, tidak semua orang cocok bekerja di industri ini. Yang jelas, pekerjaan ini nggak cocok blas buat kalian “pemuja” kerja nine to five. Maksudnya, berangkat bareng PNS, dan kudu makan malam di rumah (mungkin lewat Magrib takut berubah jadi Megaloman). Kalau seperti ini, lebih baik kubur dalam-dalam deh hasrat jadi broadcaster.

Jadi siapa yang sebenarnya cocok bekerja di bagian produksi TV?

Berdasarkan pengamatan saya, paling tidak ada tiga hal yang bisa menjadi modal kuat untuk melamar sebagai bagian produksi televisi. Kalau kalian merasa memilikinya, monggo dilanjutkeun.

Pertama, fresh graduate.

Kalian yang baru lulus kuliah, jurusan apapun, adalah orang yang tepat untuk melamar jadi bagian produksi televisi. Umumnya fresh graduate memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja, dan rasa ingin tahu yang besar akan “dunia baru” yang sedang dijalaninya ini.

Antusiasme ini bisa jadi mengalahkan hal lain yang sebenarnya penting, namun jadi terasa tidak penting. Mulai dari jam kerja yang “keriting”, dan (kompensasi) gaji.

Kalian akan terlalu asyik bekerja, terlalu bahagia bekerja, sampai kalian nggak sadar kalau sudah 14 jam kalian di kantor. Kalian juga jadi nggak kepikiran kalau kompensasi gaji yang kalian terima tiap bulan, sebagai fresh graduate, sebenarnya kecil banget bisa lebih baik lagi.

Tapi, banyak dari kalian yang akan bertahan karena merasakan lingkungan kerja yang luar biasa menantang, namun menyenangkan.

Kedua, memiliki fisik yang kuat.

Baru beberapa hari saya bekerja, saya sudah mendengar joke tentang pekerja TV seperti ini, “Jadi broadcaster itu sudah harus siap kena tiga penyakit berikut. Sakit tipes karena kecapekan, sakit ginjal karena kurang minum, dan sakit paru-paru karena kebanyakan begadang dan ngerokok.” Gimana, cukup bikin glek kan?

Bisa ditebak, dengan pola kerja nggak kenal waktu, kalian harus mempersiapkan fisik yang kuat. Apalagi pada saat syuting. Ketika pikiran kalian tegang karena mikirin kelancaran jalannya syuting, fisik kalian juga “kerja” wara-wiri mulai dari mengecek kesiapan studio, set, properti, membagikan keperluan syuting ke kru, nungguin artis kelar make up, sampai “menyeret” para pengisi acara ke set.

Kalau kalian ogah jaga kesehatan, makan teratur dan nggak pinter ngatur waktu kapan kudu istirahat untuk “re-charge” body, siap-siap saja dihantui tiga penyakit yang telah saya sebut di atas.

Jadi jelas ya! Nggak bisa ditawar lagi, kalian harus fit!

Ketiga, memiliki keluarga yang sangat pengertian.

Poin ini penting sekali. Yakinkan orang tua, suami/istri/anak, bahwa jam kerja di produksi televisi ini sangat “fleksibel”. Bisa saja syuting taping dari jam 7 malam, dan baru selesai jam 5 pagi keesokan harinya. Atau berangkat kerja jam 3 pagi karena ada kuis Sahur Ramadhan live jam 5 pagi, dengan durasi yang hanya 3 menit. Eh, jam 10 pagi sudah harus stanby di kantor karena meeting produksi. Pastikan hal ini tidak membuat kalian diomelin setiap kali pulang kerja.

Saya pernah punya pengalaman dengan hal ini. Sebagai anak perempuan satu-satunya, baru kerja (belum menikah pula), ortu saya pasti dag-dig-dug melihat perubahan pola hidup anak gadisnya ini. Pernah suatu waktu karena HP mati, saya lupa mengabari papa kalau saya akan syuting sampai pagi. Tengah malam papa pun datang ke studio, marah-marah, “Kantor apa ini? Anak saya kerja dari pagi nggak pulang-pulang!”

Kejadian itu sukses bikin barisan security kelimpungan. Tapi akhirnya papa cukup puas mendengarkan penjelasan kalau kemungkinan saya sedang syuting program “Dunia Lain”, yang memang biasanya baru dimulai tengah malam. Efeknya, sejak itu jajaran security pun mengenal saya sebagai ‘Si Mbak yang papanya marah-marah’.

***

Jadi, kalau kalian merasa memiliki tiga hal tersebut, boleh lah melamar bagian produksi televisi dengan lebih pede.

Editor : Hiz

Foto : Pexels