Bekerja merupakan bagian penting dalam kehidupan untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, atau bahkansekadar untuk menghindari sebutan ‘pengangguran’. Jenis pekerjaan yang dipilih oleh manusia juga berbeda-beda; tergantung dengan bakat, minat, dan kodrat. Ada yang memilih bekerja di dalam ruangan (perkantoran) karena alergi dengan sinar matahari, ada yang memilih bekerja di luar ruangan (lapangan) karena ingin membanting tulang sambil berpetualang.

Ada pula yang memilih bekerja sesuai garis nasib, sebab harapan sering tidak sesuai dengan kenyataan. Di antara jenis-jenis pekerjaan yang telah disebutkan, jenis pekerjaan di dalam ruangan atau perkantoran adalah jenis pekerjaan yang paling banyak ditemukan, manusia cenderung memilih aman daripada melawan tantangan.

Bekerja di dunia perkantoran sering dipandang oleh masyarakat awam sebagai pekerjaan yang membosankan, selalu bekerja di gedung yang didominasi kaca, dan lain sebagainya. Padahal, itu hanyalah mitos. Penulis menggunakan istilah “mitos”, karena asumsi-asumsi masyarakat awam tentang dunia perkantoran cenderung memiliki pola “katanya”, bukan atas dasar faktanya.

Oleh sebab itu, mitos-mitos tersebut perlu diluruskan kembali agar menghasilkan pemahaman-pemahaman yang lebih jernih. Berikut beberapa mitos yang sering beredar di masyarakat tentang dunia perkantoran.

Bekerja di Perkantoran Itu Membosankan

Mitos pertama yang sering dipercaya oleh khalayak ramai adalah bekerja di dunia perkantoran itu membosankan. Padahaltidak hanya bekerja di kantor yang membosankan, tetapi semua pekerjaan dengan pola yang itu-itusaja selalu membosankan. Oleh sebab itu, manusia butuh refreshing untuk mengimbangi rasa jenuh tersebut.

Setiap orang memiliki bentuk refreshing yang tidak sama. Bisa saja seseorang merasa “segar kembali” ketika mendengarkan nasihat-nasihat bijaksana tentang rasa syukur, ada yang merasa “segar kembali” ketika berkunjung ke tempat-tempat yang memicu feeling good, dan ada pula yang merasa “segar kembali” cukup dengan bertemu dengan orang-orang terkasih.

Perkantoran Itu Gedung Mewah

Mitos berikutnya adalah anggapan bahwa bekerja di kantor berarti bekerja di gedung yang megah, mewah, dan istimewa. Padahal, ruangan dengan dinding tripleks tipis pun juga disebut kantor jika digunakan untuk mengurusi suatu pekerjaan. Opini publik telanjur digiring ke sebuah pemahaman bahwa ruangan yang bisa disebut kantor adalah ruangan yang indah dan mewah, sedangkan esensi dari kantor itu sendiri adalah fungsinya, bukan bentuknya.

Semewah dan seindah apa pun suatu tempat jika tidak digunakan untuk mengurusi sebuah pekerjaan, maka tempat tersebut hanyalah hiasan. Sebaliknya, sesempit dan sekumuh apa pun sebuah tempat jika digunakan untuk urusan pekerjaan yang sedang digeluti, maka tempat tersebut lebih layak disebut sebagai kantor.

Bekerja di Bawah Tekanan (Deadline dan Target)

Mitos selanjutnya tentang dunia perkantoran yang masih beredar di masyarakat ialah adanya persepsi bahwa bekerja di perkantoran berarti bekerja yang dikejar deadline dan target di setiap harinya. Padahal, tidak ada pekerjaan satu pun di dunia ini yang tidak ber-deadline dan bertarget. Setiap pekerjaan pasti memiliki target untuk diselesaikan, bahkanurusan pekerjaan seperti memasak mi instan saja ada deadline-nya, kok. Seseorang perlu menyadarkan dirinya sendiri bahwa deadline tercipta bukan untuk ditakuti, tetapi untuk diatasi.

Menjadi Sekretaris Harus Cantik

Mitos terakhir sekaligus yang paling unik dalam dunia perkantoran adalah asumsi bahwa posisi sekretaris dalam suatu perusahaan atau perkantoran harus diduduki oleh perempuan yang berparas ayu. Padahal; tidak hanya sekretaris yang dituntut cantik, tetapi semua pegawai kantor atau perusahaan harus selalu berpenampilan menarik.

Standardisasi ini bukan bentuk diskriminasi fisik, tetapi justru bentuk menumbuh-kembangkan kepercayaan diri karyawan. Cantik tidak hanya perihal wajah yang mempesona, tetapi juga perihal kerapian, kebersihan, dan kesopanan. Perempuan atau lelaki dengan wajah mempesona sekalipun jika mengenakan baju kucel, memiliki bau badan yang membuat orang sekitar pingsan, dan suka berbicara seenak jidatnya sendiri; maka ia tetaplah dipandang ‘buruk’ meski memiliki wajah yang ‘tidak buruk’.

Akhir kata, berasumsi memang bukan hal yang dilarang atau diharamkan, tetapi asumsi yang tanpa bukti itu menyesatkan.

Editor: Nirwansyah

Gambar: Kompas.com