Hallo sobat Milenialis! Ngobrolin soal film nih, seperti yang kita tau bahwa di awal tahun 2019 ini ada banyak banget film-film yang cukup menarik perhatian milenial baik dari produksi lokal maupun mancanegara. Nah, pastinya setiap selesai nonton film kamu punya penilaian, pendapat dan sudut berfikir baru dong ya? Lebih-lebih bagi pecinta dunia perfilman pasti akan menganalisis lebih dalam dan mengkritisi.

Analisa Film pakai Kacamata Tafsir

Tapi tenang dulu guys, pada tulisan kali ini aku nggak akan nge-spoilerin film-film terbaru yang lagi trending kok! Aku bakal mencoba nganalisis film jadul yang berjudul “Tai Chi Hero” dan “Tai Chi Zero” pake kacamata yang berbeda, yakni kacamata tafsir. Film tersebut merupakan film seni bela diri Hongkong-China yang realise pada tahun 2012. Disutradarai oleh Stephen Fung dan diproduksi oleh Chen Kuo-Fu dengan Jet Li sebagai excecutive produsernya. Film tersebut juga pernah trending pada masanya.

Tai Chi Zero & Tai Chi Hero

Dalam film “Tai Chi Zero” dan “Tai Chi Hero” kita bisa melihat bahwa zaman akan terus berkembang sehingga manusia secara tidak langsung tertuntut untuk terus mengikuti perkembangan tersebut. Waktu nonton film ini, aku jadi keinget sebuah hadis yang bunyinya “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena ia hidup di zaman yang berbeda denganmu.” Hadis tersebut menunjukkan bahwa perkembangan zaman adalah sesuatu yang niscaya dan setiap zaman memiliki tantangan yang berbeda-beda. Dalam wilayah science, Thomas S. Kuhn dalam tesisnya menyebut dengan teori shifting paradigma (pergeseran paradigma yang disebabkan perkembangan iptek pada zaman tertentu).

Kondisi perkembangan zaman yang tidak sekaligus dapat diterima oleh semua khalayak dan semua daerah di dunia, menyebabkan adanya pertentangan-pertentangan yang berbeda-beda pada masing-masingnya.

Dalam film tersebut perkembangan zaman di ilustrasikan dengan datangnya teknologi modern, yaitu teknologi tanam mesin kungfu, kereta api, pesawat, dsb. Sedangkan masyarakat Desa Chen masih sangat kental memegang teguh tradisi adatnya (misal, kungfu tradisional dan berbagai peninggalan leluhur). Bahkan masyarakat tersebut masih sangat berat untuk mengajarkan tradisi leluhur kepada orang luar, pun juga berat untuk menerima perkembangan dari luar.

Modern vs Tradisional

Dari kedua film tersebut, aku sempat noted pada menit 56 pada film “Tai Chi Hero” yakni “Selama kita punya alasan yang tepat, semuanya akan menjadi mudah” meski kalimat tersebut memiliki konteks tersendiri dalam film tersebut, akan tetapi maksudnya adalah perkembangan zaman yang begitu modern dan pemegangan tradisi leluhur dengan argumen yang jelas dan metodologi yang tepat, akan memudahkan nalar manusia untuk menerimanya. Ya, meski tidak se-legowo itu butuh banyak pengorbanan termasuk nyawa, seperti adegan yang ada dalam film tersebut.

Meski begitu, aku kurang melihat argumen yang jelas antara pertentangan tradisionalitas dan modernitas yang dipersoalkan. Entah karena aku yang kurang jeli, atau memang begitu. Kenapa harus didatangkan kereta api? Apakah iya, masyarakat Desa Chen membutuhkan mobilitas itu? Dan mengapa harus mempertahankan tradisi? Apa karena sebatas tradisi leluhur? Karena menurutku, baik leluhur maupun modernitas semua dapat di rasionalkan kecuali hal-hal teologis yang mungkin akal kita belum cukup mampu menggapainya, tapi layak untuk kita yakini (imani).

Rasionalitas tersebut juga ditegaskan pada menit 33 bahwa “Didunia ini kalian masih percaya pada takhayul? Pasti ada seseorang yang memanipulasinya.” Yang pada akhirnya terkuak kesengajaan-kesengajaan yang dilakukan kakak tertua sebagai pemegang cerita leluhur yang dengan penuh ambisi ia ingin membuktikan kebenaran crita tsb, meski sebenarnya dia juga menginginkan modernisasi yang terjadi. Namun pada akhirnya, dengan kejelasan, keterbukaan, dan keterbuktian, semua bisa sama-sama diterima dengan nalar dan kelegowoan.

Dunia Penafsiran al-Qur’an

Menurutku, begitu juga dengan dunia penafsiran al-Qur’an. Penafsiran-penafsiran kontemporer yang terkadang cenderung terdengar nyeleweng ditelinga masyarakat awam, seringkali menimbukan kontroversi. Akan tetapi dengan metodologi penafsiran yang tepat dan dan argumentasi yang jelas disertai dengan dasar, maka dengan berbagai macam tantangan dan kontroversinya tetap dapat diterima, meski tidak serta merta semua masyarakat. Hal tersebut karena nalar setiap masyarakat pun berbeda-beda dipengaruhi dengan shifting paradigma. Oleh karena itu, menjadi sangat tepat bahwa al-Qur’an mendapat julukan salihun likulli zaman wa makan yang dapat menimbulkan ragam penafsiran. Selain pengaruh ruang dan waktu, keragaman tersebut juga dapat dipengaruhi dengan subjektivitas-subjektivitas lainnya. Misalnya, seperti yang terdapat dalam film tersebut adalah perihal cinta, kasta, golongan, dan banyak hal lainnya.

Nah, mungkin kawula milenial akan sedikit bingung kalau membaca riviu ‘kacamata tafsir’ ini tanpa menonton filmnya. Karena tulisan ini nggak nge-spoilerin alurnya secara runtut tapi langsung masuk ke analisis. So, buat yang penasaran sama filmnya langsung aja download dan tonton sampai selesai. Film ini nggak kalah seru sama film “Avenger End Game” lho dan pernah mencapai IMDb yang cukup tinggi di Amerika pada pekan pertama rilis pada zamannya.

Penulis: Fadhlinaa A.