Membaca konsep rezeki pedagang keliling.

Pak Halim, asli Tanggerang. Beliau adalah salah satu penjual yang berada di alun-alun kidul Yogyakarta. Sudah 4 tahun beliau menekuni profesi ini dengan istiqomah, mulai dari jenis dagangan, jam kerja, sampai lokasi pun tetap sama, tidak pernah bergeser sedikit sedikit pun.

Ya, sebelum PPKM kemarin, saya memang pengin bincang-bincang langsung dengan para pedagang, sekadar memastikan kondisi ekonomi mereka ada pada tingkat yang bagimana. Dan kebetulan saya bertemu dengan Pak Halim.

Tidak seperti kelompok masyarakat kelas menengah atas yang tak terlalu terguncang ekonominya, bahkan sampai memborong obat dan makanan (read: susu beruang), kondisi ekonomi kalangan pedagang kecil ini sangat terobrak-abrik oleh pandemi.  

Misal saja Pak Halim, di waktu normal (sebelum pandemi), beliau bisa menghabiskan 120 sampai 150 potong, tapi pas pandemi, 40 potong saja sudah bagus. Oh, iya, beliau merupakan pedagang terang bulan versi kearifan lokal, yang topingnya memakai susu, serta bubuk gula. Ya, jajanan anak-anak 90-an zaman dulu.

“Ya gimana, mau jualan susah, tidak jualan tambah susah, jadi jalani saja, Mas.”

Begitulah prinsip beliau ketika berjualan di masa pandemi. Ada getir yang menjalar ketika saya mendengar kalimat tersebut. Sudah setahun lebih pandemi berjalan, dan beliau tetap berjualan dengan segala kondisi ini. Entahlah, nyatanya beliau tetap hidup. Konsep rezeki memang melampaui logaritma.

Membincang konsep rezeki, saya sering melihat penjual yang melakukan hal-hal yang secara logika tidak masuk akal. Misal, saya pernah ditawari sebuah raket badminton ketika sedang menunggu bus di daerah Solo. Tentu saja, saya dan beberapa orang di samping saya menolak karena tidak tertarik.

Sempat saya mbatin “Memangnya ada ya orang yang membeli raket badminton ketika sedang menunggu bus?” Karena merasa penasaran, saya pun menceritakan pengalaman saya tersebut, dan mengajukan pertanyaan tentang logika berjualan pedagang tersebut pada teman sejawat saya.

Di luar dugaan, teman saya mencoba memahami pemikiran mereka, dan menebak kalau para pedagang tersebut memiliki prinsip “Tawari saja, siapa tahu berminat”. Untuk kali ini, saya pun setuju.

Pernah juga ketika saya sedang menikmati suasana di cafe, ada seorang pedagang datang dan menawari dagangannya. Beliau membawa buah rambutan, sapu, dan minuman kemasan, yang bagi saya sangat jauh dari logika supply dan demand.

Bayangin saja, siapa sih orang yang kepikiran mau membeli rambutan, sapu, atau minuman kemasan ketika sedang ngopi? Berbeda kalau yang ditawari adalah cemilan, agaknya lebih masuk akal.

Namun, kembali lagi, mungkin pedagang tersebut juga punya prinsip “Tawari saja, siapa tahu berminat”. Saya mulai mencoba memahami konsep rezeki yang sangat jauh dari hingar-bingar algoritma. Kalau dipikir-pikir, mereka-mereka ini sudah bertahun-tahun berjualan dengan metode ini. Nyatanya mereka tetap hidup. Saya juga bingung bagaimana caranya? Tapi mereka memang hidup dengan cara-cara seperti itu.

Melihat cara hidup pedagang tersebut, membuat saya agak tertampar. Ya, gimana, sebagai anak muda penyandang quarter life crisis, sering sekali saya khawatir akan masa depan. Besok mau kerja apa? Bagaimana cara bertahan hidup? Serta kekhawatiran lain yang berujung pada masalah keduniawian.  

Dalam perjalanan merenungkan konsep rezeki, saya menemukan sebuah video yang cukup bagus tentang konsep rezeki. Salah satu yang menarik adalah penggambaran seekor cicak. Iya, cicak adalah salah satu hewan yang secara logika tidak akan mendapatkan makanan.

Ya, gimana, makanan cicak ini sejenis nyamuk, lalat, serta hewan lain yang memiliki sayap. Sedangkan ia tidak memiliki sayap dan hanya bisa merayap. Tapi kok ya bisa saja cicak ini selalu mendapatkan makanan dan tetap hidup.

Banyak sekali kisah-kisah tentang konsep rezeki yang sangat tidak logis. Namun, itu justru menandakan satu hal, yakni rezeki adalah wilayah tuhan, manusia hanya cukup berusaha saja. Sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya, dan seikhlas-ikhlasnya. Bukan berarti pasrah, tapi memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia.

Editor : Hiz