Sudah saatnya sinetron Indonesia itu tak lagi masuk ke dalam kategori program hiburan di televisi. Oke, mungkin pernyataan itu terdengar konyol bagi kalian. Tapi saya pikir tidak ada yang konyol dari pernyataan itu.

Sinetron yang sering disebut sebagai program hiburan di televisi belakangan ini tidak menghibur sama sekali, berbeda dengan tayangan musik, game, wayang, dan sebangsanya. Sebetulnya saya juga heran kenapa kok sinetron masuk kategori hiburan di televisi? Hiburan yang bagaimana? Mungkin dimasukkannya sinetron ke dalam kategori hiburan itu karena memang sudah mentok, nggak tahu lagi sinetron mau masuk ke kategori apa. Sedangkan tayangan sinetron sangat laris.

Sinetron Indonesia blas nggak menghibur, tapi malah bikin mumet penontonnya. Coba ngana pikir saja, tiap hari penonton yang gemar sinetron dicekoki cerita yang diakhiri dengan bersambung. Cerita yang bersambung ini bikin penonton penasaran, mereka pun akan menebak-nebak dan akhirnya kepikiran terus.

Stabilitas otak pun akan terganggu karena tiap hari mikirin episode yang akan datang. Udah mikir cicilan, biaya makan, pandemi, ini sinetron yang harusnya menghibur malah bikin puyeng karena cerita yang dibuat bersambung. Walaupun saya maklum sih, konsep sinetron memang seperti itu.

Namun yang bikin mumet nonton sinetron Indonesia bukan soal bersambungnya doang. Tapi sinetron Indonesia berkali-kali menipu penonton. Saya pernah mengikuti cerita sebuah sinetron dengan khusyuk. Ketika sampai di adegan klimaks, eh jebul malah sekadar mimpi dari si tokoh dalam sinetron tersebut. Kalau kalian ingat sinetron ‘Tersanjung’ di Indosiar, nah begitulah polanya kira-kira. Mbulet.

Lalu muncul sinetron ‘Ikatan Cinta’. Saya pikir kehadiran sinetron tersebut akan memutus mata rantai ke-mbulet-an sinetron yang semacam itu. Ya tahulah, katanya sinetron ini hampir mirip-mirip sama drakor. Tapi dugaan saya meleset. Sinetron ‘Ikatan Cinta’ juga sama mbuletnya dengan ‘Tersanjung’.

Pola “sekadar mimpi” kembali dipakai oleh sinetron ‘Ikatan Cinta’. You know lah buat apa. Itu tak jauh-jauh lantaran rating sinetron tersebut yang sampai detik ini menjulang sampai ke rooftop kantor RCTI Plus.

Sinetron sama sekali tak menghibur, tapi justru membuat penontonnya mumet. Sampai-sampai mungkin saking mumetnya, para penonton sinetron bisa jadi ganas, galak, liar, beringas. Keganasan para penonton justru berdampak buruk bagi para pemain. Apalagi untuk aktris dan aktor yang memerankan karakter antagonis.

Tengoklah pemeran Elsa di ‘Ikatan Cinta’ yang dibenci oleh para penonton, atau Helsi Herlinda yang bahkan pernah dikeroyok ibu-ibu karena perannya sebagai tokoh antagonis. Itu baru segelintir contoh bahwa sinetron Indonesia sanggup bikin orang ganas.

Saya kira cuma sinetron genre drama saja yang bikin mumet. Tapi ternyata sinetron bergenre kolosal pun malah jauh bikin pusing kepala. Contohnya sinetron ‘Kembalinya Raden Kian Santang’. Tunggu dulu, kok dari MNC Grup lagi? Ya sejujurnya saya pengin ngasih contoh lain, hanya saja sinetron kolosal terbaru ya cuma itu. Lagi pula ‘Kembalinya Raden Kian Santang’ ratingnya juga lumayan.

Awal-awal masih okelah, cerita masih masuk akal. Lama-lama banyak bermunculan tokoh-tokoh baru di dalam sinetron tersebut. Hal itu yang bikin kepala cenat-cenut. Terlebih banyak tokoh asing yang, setahu saya nggak ada kaitannya dengan kerajaan Padjajaran atau bahkan Raden Kian Santang itu sendiri. Buntutnya saya harus nyanding Google kala menonton sinetron yang satu ini.

Buat televisi lain nggak usah geer dulu. Sinetron-sinetron di televisi sebelah juga sama-sama nggak menghibur kok. Sinetron Catatan Hati Seorang Istri (CHSI) di Indosiar juga punya cara sendiri untuk membuat penontonnya mumet, yaitu menghadirkan konflik cerita yang berat. Sesuai judulnya, sinetron ini bertema istri yang disakiti oleh suaminya. Tema tersebut malah menimbulkan perdebatan panjang yang jelas bikin otak senam. Sebab pembahasan beberapa waktu laku sampai ke pedofilia segala.

Sinetron Indonesia memang nggak menghibur blas. Jika televisi pengin buat program hiburan, nggak usah berpikir untuk bikin sinetron lagi deh. Coba bikin kayak ‘Opera Van Java’ Trans7 atau ‘Sketsa’ Trans TV. Dua program hiburan ini berkonsep cerita sama kayak sinetron. Bedanya kedua program ini bikin penonton tertawa, nggak spaneng seperti sinetron.

Semestinya stasiun televisi itu sadar, jika sinetron itu buat hiburan harusnya dibikin menghibur bukannya mumet. Apalagi riset IDN Research Institute menyebut konsumsi televisi usia produktif (21-36 tahun) masih relatif tinggi. Dan jika dicermati dari rating, sinetron menjadi program yang paling diminati. Maka seyogyanya sinetron bisa benar-benar jadi alternatif pelepas penat.

Editor : Hiz