Tulisan ini mungkin akan terdengar seperti pengakuan dosa. Pengakuan dosa dari orang yang nekat membahayakan diri sendiri dan orang lain, demi kesenangan pribadi dan segelintir orang di sekitarnya. Hanya karena rindu dan hasrat yang tidak kunjung terpuaskan, kami rela membikin sesuatu yang membahayakan, dan melanggar hukum juga sebenarnya. Ini adalah pengakuan dosa dari saya, dan beberapa teman-teman saya yang dengan nekatnya membikin sebuah gigs musik saat pandemi.

Seperti kita tahu, selama satu tahun lebih pandemi, acara musik benar-benar terdampak parah. Nyaris tidak ada acara musik seperti biasanya, baik itu gigs kecil hingga skala festival yang benar-benar berjalan. Kalau pun ada, paling hanya virtual saja, tanpa ada penonton. Itu jelas mengurangi keseruan dari sebuah acara musik, di mana penonton adalah nyawa penting bagi para musisi dan penyelenggara acara.

Para musisi tentu resah. Tidak ada panggung, berarti tidak ada pemasukan yang mereka terima. Mereka yang selama ini bergantung pada pemasukan dari panggung, harus memutar otak bagaimana caranya supaya pemasukan mereka tetap mengalir. Ada yang membuat konser virtual, merilis lagu/album, atau bahkan beralih profesi. Sementara itu, para penikmat musik ya harus sedikit sabar dan beradaptasi dengan situasi sekarang. Bersabar sembari belajar menikmati konser virtual.

Atas dasar itulah, saya dan teman-teman nekat membikin gigs musik saat pandemi. Ini sebenarnya adalah gigs rutin yang digelar tidak menentu. Bisa tiga bulan sekali, enam bulan sekali, atau bahkan setahun sekali. Tergantung mood, lah. Bentuknya pun sebenarnya adalah studio gigs, di mana kami bermain di dalam studio, dan penontonnya pun ikut masuk ke dalam studio. Mirip latihan band lah, tapi ada penontonnya. Tidak bisa menampung banyak orang, sih, tapi yang penting seru.

Pada pertengahan Maret kemarin, ketika situasi sudah banyak pelonggaran, kami akhirnya bisa membikin sebuah studio gigs. Dengan semangat kolektif, kami semua yang main (band-band yang main) patungan untuk menyewa studio selama empat jam. Total sekitar ada delapan band yang main, yang mana masing-masing band patungan empat puluh ribu rupiah. Band teman-teman sendiri, sih, yang nonton juga teman-teman sendiri.

Saya akan coba beri bayangan betapa berbahayanya acara studio gigs ini berkaitan dengan penyebaran virus corona. Bayangkan saja, studio dengan ukuran sekitar 4 x 6 meter persegi, yang sudah diisi oleh tiga ampli, dua speaker, satu set drum, dua gitar, dan satu bass. Lalu diisi lagi oleh orang sekitar sepuluh sampai lima belas orang, termasuk personel band yang main. Itu pun hanya ditolong dengan satu buah AC yang lebih tepat disebut pajangan, karena nyaris tidak ada fungsinya. Oh iya, studio yang kami sewa juga tidak jauh dari Kantor Polres, 50 meter, lah. Jadi bahayanya dobel.

Belum lagi sebagian besar band yang main adalah band hardcore. Paling hanya tiga band yang non-hardcore. Ada band saya yang lebih ke mathrock atau alternatif, satu band grunge, dan satu band emo. Bayangkan saja, dengan venue sesempit itu, ada band hardcore yang main di dalam. Sudah pasti chaos, kena sikut, moshing, crowd-surfing, pokoknya kaca lah. Keringat, bau badan, kontak fisik,, jadi satu, lah. Tapi kita senang-senang, dan beruntungnya tidak ada barang-barang yang rusak dari studio yang kita sewa. Kita juga tidak digrebek polisi, walaupun dekat Kantor Polres. Aman.

Selesai acara itu, petaka satu per satu datang. Sekitar satu minggu setelah acara, beberapa teman mulai jatuh sakit satu per satu, dan sebagian besar mengeluh demam. Kami semua yang hadir, jelas takut kalau sampai ada yang positef covid setelah acara. Benar saja, salah satu teman saya dinyatakan positif covid, dan kami parno bukan main. Saya pribadi mendengar kabar itu segera melakukan tes, dan beruntungnya saya negatif. Pun saya sebelumnya tidak mengeluh sakit seperti teman-teman, paling hanya encok saja.  Walhasil kami isolasi dulu di rumah beberapa hari, sampai cukup sehat untuk beraktifitas.

Apakah kami kapok? Tentu saja, apalagi ada teman yang sampai positif covid selepas acara itu. Beruntung dia sekarang sudah sembuh, dan sudah haha hihi bersama kami lagi. Hanya karena ego dan hasrat kami akan acara musik, kami sampai rela membahayakan kesehatan pribadi dan teman-teman. Apa yang kami lakukan tentu tidak untuk ditiru, dan jangan sampai terulang lagi. Kami mengakui bikin gigs musik saat pandemi jelas hal yang keliru. Nekat boleh, tapi jangan sampai goblok seperti kami.

Editor : Hiz

Foto : Pexels